Sembada dengan tegas menjawab, "Kali ini, aku tetap akan memegang teguh amanat Paduka, tidak peduli apa pun keadaannya."
Dora dengan tekad berkata, "Sepertinya, Sembada, kau memang harus dipaksa. Aku akan merebutnya karena itu adalah perintah langsung dari Prabu Aji Saka." Akibatnya, terjadi pertarungan sengit di antara keduanya, di mana kemampuan mereka berimbang.
Sementara itu, di istana Medhang Kamulan, ada perasaan yang mengganjal dalam benak Sang Prabu. Ia merasa ada yang tidak beres, terutama karena Dora sudah pergi begitu lama dan tidak kembali seperti biasanya. Akhirnya, Prabu Aji Saka memutuskan untuk pergi menyusul kedua abdinya di pegunungan Kendheng untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Selama perjalanan, Aji Saka semakin merasa bahwa ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Setibanya di tempat tujuan, Aji Saka terkejut melihat Dora dan Sembada tergeletak tak bernyawa di tanah. Terlihat bekas pertarungan yang sangat sengit terjadi di tempat itu. Rupanya, mereka berdua bertarung hingga tewas, demi menjaga amanat yang telah mereka emban.
Dalam penyesalan hatinya, Sang Prabu mengucapkan, "Maafkan aku, sungguh kalian berdua adalah orang-orang yang sangat setia kepadaku."
Dalam rangka mengabadikan kesetiaan keduanya, Prabu Aji Saka menuliskan pesan di sebuah batu. Tulisan itu berisi: "Ha Na Ca Ra Ka" yang berarti ada dua utusan setia, "Da Ta Sa Wa La" yang berarti saling berselisih pendapat dan saling bertarung, "Pa Dha Ja Ya Nya" yang berarti sama-sama kuat dan tangguh, serta "Ma Ga Ba Ta Nga" yang berarti akhirnya tewas bersama.
Tulisan yang dibuat oleh Aji Saka pada batu tersebut menjadi asal usul aksara Jawa, yang dikenal sebagai Aksara Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H