Kini, Aji Saka dan Dora telah diterima sebagai anggota keluarga oleh Nyai Sengkaren. Mereka merasa bahagia dan bersyukur karena telah menemukan tempat tinggal dan pengakuan di desa tersebut.
Selama mereka tinggal di desa itu, Aji Saka dan Dora menjadi anggota yang sangat berkontribusi dalam pekerjaan rumah sehari-hari. Mereka dengan tekun membantu pekerjaan rumah dan juga menjalin hubungan baik dengan penduduk desa. Kedua abdi setia ini sangat disenangi oleh warga karena perilaku mereka yang santun dan sopan.
Suatu ketika, ketika Aji Saka sedang berbincang dengan salah seorang warga, dia memuji keadaan Negeri Medhang Kamulan yang tampak subur dan makmur. Namun, raut wajah warga tersebut segera berubah saat dia menjawab perkataan Aji Saka.
"Ya, seolah-olah begitu, Tuan," ujar warga tersebut, "Tetapi kita hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bahkan, beberapa warga sampai mengungsi dan meninggalkan desa ini karena raja yang sangat kejam. Tempat ini..."
"Apa yang terjadi?" tanya Aji Saka.
Warga itu menjawab, "Negeri ini diperintah oleh Prabu Dewata Cengkar, Nak! Seorang raja yang sangat jahat dan memiliki kebiasaan aneh. Setiap hari, dia memerintahkan patihnya untuk mencari manusia yang akan dijadikan santapannya."
Aji Saka dengan cepat memahami ketakutan warga, karena mereka hidup dalam ancaman bahwa sewaktu-waktu prajurit kerajaan dapat datang dan mengambil mereka sebagai santapan untuk sang raja yang kejam.
Pada suatu hari, terjadi kepanikan besar di desa tersebut. Banyak warga yang panik dan berbondong-bondong meninggalkan desa setelah tersiar kabar bahwa prajurit dari kerajaan akan datang mencari orang yang akan dijadikan santapan untuk sang raja yang kejam. Melihat situasi ini, Aji Saka dengan berani mengajukan diri untuk menjadi santapan yang akan menggantikan warga desa yang tak bersalah.
Tak berlalu waktu lama, patih bersama para prajuritnya tiba di desa tersebut. Mereka heran karena desa terlihat sepi dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sana. Patih memerintahkan seluruh prajuritnya untuk menyelusuri setiap sudut desa, tetapi sayangnya, hasil pencarian mereka nihil, tidak ada yang berhasil mereka temukan.
Aji Saka dengan tegas mengajukan diri untuk menjadi santapan yang menggantikan warga desa. Awalnya, Nyai Sengkaren mencoba melarang Aji Saka, namun Aji Saka yakin bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapi ancaman di tempat tersebut.
"Bawalah hamba saja, Patih," kata Aji Saka dengan mantap, "Hamba merasa iba melihat warga yang tak bersalah menjadi korban kekejaman Prabu Dewata Cengkar. Hamba, Aji Saka, bersedia dengan rela hati menjadi santapan sang prabu."