Tangannya bergerak ragu, ingin sekali ia mengambil botol minyak kayu putih di dalam tasnya, dan menghidunya untuk mengkompensasi ketajaman bau durian yang menusuk.. Tapi apakah Ryan tidak akan tersinggung?
“Ada apa Rim?”tanya Ryan menangkap gelagat gelisah dari gerak-gerik Rima.
“Maafkan Ryan, aku… aku nggak menyangka akan semobil dengan duren, seperti sekarang ini,”Rima terbata-bata menjelaskan.
"Ada apa Rim?”Ryan memandangnya tajam. Tangannya mengecilkan volume lagu instrumental yang sedang melantun syahdu.
“Aku .. aku sesungguhnya amat menderita, semobil dengan duren. Ah, masih berapa lama perjalanan ke depan?”desah Rima menguatkan kalimat pertamanya.
Kali ini, tangan Ryan memegang tangan Rima. “Engkau akhirnya tahu juga masalah itu. Seseorang memberitahumu? Itukah rencanamu, menyetujui ajakanku ke luar kota, hanya karena ingin memvonis putus begitu saja hubungan kita yang baru terbina?”tanyanya mem-borbardir beruntun.
Bagai tertusuk kulit durian, Rima menegakkan badannya walau tertahan seat-belt, mata indahnya membelalak,“Ada apa denganmu Ryan, kamu bicara apa? Menyoal ‘putus’?”
Rima menatapnya tegas-tegas, berusaha membaca raut wajah Ryan. Ryan justru menghindari tatapan Rima, berkonsentrasi memandang jalanan di depannya. Wajah kukuh yang dikagumi Rima itu tampak semakin mengeras.
“Kamu tidak suka dengan statusku?”tanyanya dengan nada tandas menekan.
“Hei.. aku hanya tidak setuju dengan duren,”sergah Rima berusaha menjelaskan, menutupi keheranannya sendiri.
“Duren kan, katamu?”suara Ryan bagai mengejar, penuh kesengitan.