Mohon tunggu...
yulianto liestiono
yulianto liestiono Mohon Tunggu... Freelancer - perupa

Lahir di Magelang. Pendidikan terakhir ISI (Institut Seni Indonesia )Jogjakarta. Tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karya I Nyoman, Cokot dan Cokotisme

10 November 2020   22:16 Diperbarui: 10 November 2020   23:38 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi pantaslah jika Malaysia cukup sering ingin membuat klaim terhadap produk budaya Indonesia. Persoalannya adalah tidak hanya mengapa mereka ingin, namun mengapa masyarakat Indonesia seringkali "kurang mengurus" dengan baik apa yang dimikinya. 

Contoh nyatanya adalah kita sering mengatakan bangga terhadap Batik dan Batik adalah produk budaya yang Indonesia banget. Namun kalau kita amati benar, yang terjadi Batik hanya digunakan saat kondangan atau acara formil lainnya. Batik tidak menjadi bagian keseharian masyarakat, kalaupun sekolah mewajibkan menggunakan Batik, biasanya hanya sekali seminggu dan itu termasuk bagus.

Kebiasaan lebih menghargai produk budaya asing di Indonesia nyatanya dilakukan terus menerus dan justru di citrakan sebagai tanda modernitas.

Karya Cokot dan Cokotisme adalah sebuah karya "budaya" yang memiliki nilai tak berbatas. Karya seperti ini seharusnya di kelola dan dihargai oleh kita semua, khususnya masyarakat seni rupa.

Kalau kita kembali kepada persoalan klaim produk budaya Indonesia oleh Malaysia di atas. Maka bagaimana jika suatu hari seorang seniman patung Malaysia membuat pernyataan bahwa karyanya yang mirip karya Cokot dipublikasi sebagai ciptaan barunya. Dan ketika gaya cokot menjadi dikenal sebagai gaya pematung Malaysia, apakah kita masih layak marah marah. Lalu kembali mengaduk aduk data yag sangat minim tentang keberadaan Cokot dan karyanya. Apakah sikap responsif seperti ini memang menjadi ciri budaya kita juga?

Karya Cokot sudah mencapai kelas maestro, hal ini tentu memiliki banyak hal yang perlu dikaji, dicatat, dipublikasi, dihidupkan dan terus dihargai. Berbagai cara dan usaha untuk mengawetkan Cokotisme sesungguhnya adalah menjaga harta yang tak ternilai dan tak lagi dapat diperbaharui, karena keberadaan Cokot dan karyanya sesungguhnya tak akan dapat diulang atau diadakan. Kelahiran seniman dan karyanya adalah karunia alam yang perlu terus dirawat dan dihargai.

Menggali harta karun

Banyak orang ingin menciptakan pekerjaan untuk mendukung kehidupannya, khususnya di era pandemi saat ini. Berbagai pekerjaan "konvensional" mulai dipertanyakan kelangsungannya. Pandemi covid 19 bisa jadi adalah sebuah momen perubahan jaman atau budaya. Banyak hal yang konvensional bisa atau malah harus berubah total. Sekolah online misalnya. Kebiasaan baru seperti ini jika terus diperpanjang dan menemukan bentuknya yang ideal, bisa jadi akan membuat sekolah berubah konsep yang dulunya harus memiliki gedung sekolah dengan metode tatap muka, maka akan berubah menjadi total sekolah online.

Akibatnya sangatlah drastis karena gedung sekolah tidak lagi dibutuhkan dan akan diganti dengan gedung yang lebih kecil berisi perangkat komputer dan lainnya. Guru pengajar juga tidak harus hadir di sekolah. Akibatnya guru tinggal di Jogja dapat juga mengajar di Jakarta dan sebaliknya. Demikian juga siswanya, sudah tidak lagi tergantung lokasi dimana ia tinggal, karena siswa dapat belajar dari siapa saja dimana saja gurunya berada.

Apakah perubahan jaman dan budaya seperti contoh diatas juga akan menerpa dunia seni rupa? Jawabannya adalah : Pasti !  Banyak hal yang bisa saja terjadi didalam dunia seni rupa. Galeri konvensional yang menggunakan gedung akan berpikir ulang untuk "melawan" galeri online. Sekolah seni rupa juga bisa jadi menjadi sekolah online. 

Seniman juga bisa kehilangan teritorial atau batas wilayahnya. Kolektor atau pecinta seninya dapat dari mana saja, dari seluruh dunia. Perubahan perubahan infra struktur seni rupa seperti ini tentu akan berakibat pada kwantitas karya. Keterbukaan dunia melalui jaringan internet akan "memaksa" semua memilih posisinya kembali sesuai kebutuhan dan kemampuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun