Tulisan ini adalah sebuah respon tentang kegelisahan atau kerisauan Chryshnanda Dwilaksana yang ringkasnya sering disebut CDL.
CDL adalah pelukis sekaligus juga seorang Brigjen Polisi yang saat ini menjabat sebagai DIRKAMSEL di KORLANTAS.
Latar belakang CDL (sebagai pelukis dan polisi) perlu saya tegaskan agar dapat memberikan gambaran tentang siapa dan mengapa CDL sering memikirkan dan berpendapat terhadap kondisi kesenian, terhadap senimannya sebagai pelaku kesenian maupun tentang sitem atau "politik" kesenian.
CDL sebagai pelukis, posisi ini membuat  ia sering bersinggungan erat dengan dunia seni rupa baik dengan perorangan maupun dengan berbagai organisasi atau komunitas seni. Sebagai DIRKAMSEL KORLANTAS, CDL mempunyai "kesempatan" atau tugas untuk meninjau berbagai tempat di seluruh Indonesia maupun manca negara.
Apa yang dilihatnya ketika ia berkeliling Nusantara tentu saja menjadi sangat  subyektif. Dalam tugasnya sebagai DIRKAMSEL tentu ia mengamati dan memikirkan banyak hal yang berkaitan dengan persoalan lalu lintas. Namun sebagai peribadi yang pelukis ia juga otomatis dapat melihat kondisi dunia seni rupa diberbagai tempat di Indonesia.Â
Sebagai polisi CDL tentu otomatis selalu mengamati, menganalisa dan memikirkan berbagai solusi untuk mengatasi masalah yang dilihatnya. CDL juga dapat segera menggerakan jajarannya untuk merealisasikan pikiran dan berbagai strateginya.
Namun demikian ketika persoalan yang dilihatnya adalah persoalan kesenian atau budaya, yang terjadi disuatu daerah yang ia kunjungi. Maka CDL tak dapat segesit mengatasi persoalan lalu lintas. Karena sebagai seniman CDL tidaklah memiliki perangkat untuk ia gerakan untuk mengatasinya. Biasanya ia lalu menulis dan mengirimkannya ke berbagai media. CDL juga sering membicarakan berbagai persoalan kebudayan melalui berbagai medsos maupun di diskusi daring di berbagai komunitas.Â
Pada kesempatan kesempatan khusus CDL juga sering mengajak diskusi secara personal dengan sahabat sahabatnya. Tentu dengan cara seperti ini hasilnya tidaklah dapat segera di lihat. Namun paling tidak CDL telah mengemukakan berbagai kegelisahannya, CDL telah berbagi rasa agar dapat menjadi catatan sahabat sahabatnya untuk ikut peduli terhadap kondisi kebudayaan khususnya kesenian.
Kedekatan CDL dengan berbagai perupa termasuk dengan keluarga / kerabat COKOT Â tentu membuat CDL dapat merasakan berbagai masalah yang ada diseputar COKOT sebagai seniman patung, maupun karya karyanya yang berhasil menjadi ikon yang sangat kuat untuk menandai Bali.
Saya jadi ingat sekitar tahun 1970 an ketika saya pertama kali datang ke Bali. Saya melihat karya Cokot atau gaya Cokot menjadi tanda hampir disetiap sudut tempat wisata, baik hotel besar, rumah makan, bandara dan lainnya.
Ajakan untuk menulis dan membahas COKOTISME oleh CDL, adalah sebuah tawaran yang harus disambut dengan antusias. Mengapa demikian?
Karena hali ini sejalan dengan apa yang sering saya pikirkan , karena nyatanya dunia seni rupa  sudah menjadi  dunia kehidupan saya. Dunia yang saya sebut sebagai takdir yang "tak terhindarkan".Â
Dunia seni rupa mulai menjadi bagian  hidup saya sejak SD karena saya nyaris selalu mewakili sekolah dalam lomba gambar, demikian pula ketika SMP, SMA saya juga sering terlibat di berbagai kegiatan seni rupa hingga saya kuliah di ASRI Jogja dan berubah menjadi ISI Jogja dan diteruskan dengan berbagai kegiatan di Jakarta.Â
Tahun 1987 saya masuk ke Jakarta dan tinggal sampai saat ini. Kegiatan melukis tetap saya lakukan selain berkegiatan di bidang periklanan. Hingga pada periode ditengah krisis 1998 saya mendirikan dan mengelola Galeri Seni Rupa Millenium ( 1998 -2004 ). Dan selanjutnya berkegiatan mengajar dan mendirikan berbagai kelas lukis non formal dan kegiatan lainnya.
Tentang Gaya seni rupa atau isme
Banyak orang tahu tentang gaya dalam seni rupa, khususnya seni lukis. Gaya lukisan dapat dikatakan sebagai tanda tanda yang muncul pada periode seni rupa modern khususnya di Eropa. Beberapa gaya lukisan yang populer atau banyak dikenal diantaranya, Dekoratif, Realis, Naturalis, Impresive, Ekspresive, Pontilis, Kubisme, Surealis, Abstrak, Optik Art dan Pop Art.Â
Kehadiran atau lahirnya gaya tersebut tentu sangat berkaitan dan bahkan sebagian besar lahir karena merespon atau menentang gaya yang sedang populer di jamannya, dan ada pula yang lahir karena  merespon disiplin ilmu lainnya. Misal Surealis yang dekat dengan Psikologi. Pointilis derkat dengan teknologi cetak/printing. Pop Art dengan perkembangan budaya baru (kemasan, produk dan lainnya).Â
Perubahan perubahan seperti ini adalah keniscayaan karena dunia seni rupa adalah dunia kreatifitas yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Perkembangan atau perubahan gaya dalam seni lukis  juga  terjadi juga dalam seni patung.
Gaya dalam seni rupa ternyata tidak menunjuk atau berdasar pada karya / nama seseorang, karena gaya dalam seni rupa menunjuk atau berdasar pada ciri ciri umum (utamanya ciri fisik/teknis) dalam karyanya. Misal pada lukisan abstrak, sebutan lukisan abstrak disematkan  kepada karya karya yang hanya menggunakan atau menampilkan susunan berbagai element rupa, seperti garis, warna , bentuk dan lainnya.Â
Lukisan abstrak tidak menggambarkan atau me-representasi wujud atau gambaran tertentu (yang kasad mata). Pengertian abstrak juga sering dihubungkan dengan karya nir mana . Dengan demikian siapa saja yang melukis dengan batasan tersebut diatas maka ia dapat digolongkan sebagai pelukis abstrak.
Walau pada prakteknya lukisan abstrak sering juga digeser atau didekatkan dengan bentuk bentuk yang kasad mata, namun bentuk tersebut lalu di kaburkan atau hanya dikesankan. Model lukisan seperti  ini dapat disebut sebagai abstrak figuratif ( abstrak yang mengaitkan figur tertentu walau samar/tidak sempurna).Â
Pada lukisan abstrak juga ada yang dapat digolongkan menjadi abstrak ekspresionis dan ada abstrak yang  geometris.Untuk memahami berbagai gaya dalam seni rupa ada baiknya kita melihat karya dari banyak perupa yang mengerjakan karyanya dalam satu gaya. Misal kita melihat karya Piet Mondrian dan juga karya Jackson Pollock atau karya Fadjar Sidik dan juga karya Amri Yahya. Mereka adalah pelukis / tokoh abstrak yang memiliki ciri karya yang sangat beda.
Dengan berdasar pemahaman diatas, Cokotisme dapat dikatakan bukan menunjuk pada sebuah gaya tertentu dalam seni patung. Cokotisme lebih menukik pada gaya senimannya dalam mengerjakan patungnya.
Ciri ciri patung Cokot, baik dari konsepnya, materi atau bahannya serta teknik pengerjaannya yang sangat unik dan memiliki karakter yang kuat inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa karya tertentu yang terindikasi atau memiliki banyak kesamaan dengan karya karya Cokot, maka karya tersebut dapat digolongkan menjadi karya yang  ke- Cokot Cokotan dan lebih mudah kita sebut sebagai karya Cokotisme / gaya Cokot.
Demikian landasan pemikiran untuk membahas / membicarakan ada tidaknya Cokotisme di Bali. Apa pentingya persoalan Cokotisme dan lainnya? Siapa pematung pematung Bali yang dapat digolongkan dalam kelompok (Cokotisme) ini ? Â Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang Cokotisme, kita perlu membaca beberapa artikel dari berbagai penulis seni rupa yang ada di berbagai media, Brosur/Katalog pameran dan lainnya.
Tujuan penulisan Cokotisme adalah untuk memperkaya literasi seni rupa khususnya seni patung Bali. Selain itu dengan memahami karya karya Maestro Seni Rupa termasuk Karya Cokot maka kita dapat menghargai, merawat dan ikut memperkaya khasanah seni rupa kita. Hingga seni rupa Indonesia semakin kokoh dan berkembang dengan baik, karena dapat berdiri diatas sejarah panjang dan kuat dari tokoh tokoh perupa terdahulu.
Pentingnya menghargai Cokotisme
Kita pasti masih ingat dan tahu bahwa sudah seringkali Malaysia membuat klaim terhadab satu atau beberapa produk budaya Indonesia, seolah merekalah yang memilikinya. Dan ketika mereka melakukan hal tersebut sontak banyak dari warga Indonesia "marah marah" dan menyatakan sikap menolak bahkan kadang sampai ingin mulai bermusuhan. Kondisi seperti ini cukup sering, namun terus berulang dan berulang. Dan umumnya di ujung ujungnya beritanya menguap tidak terjelaskan.
Dari peristiwa seperti ini ada beberapa hal yang dapat dicatat. Pertama hal tersebut menunjukan bahwa produk budaya Indonesia diminati, paling tidak oleh masyarakat Malaysia.Â
Kedua adalah karena produk budaya Indonesia "memungkinkan" untuk mereka klaim sebagai produk budayanya. Kata memungkinkan disini saya artikan sebagai memiliki potensi untuk disamarkan sebagai budaya mereka. Karena rumpun masyarakat Indonesia dan Malaysia mirip atau sama.Â
Ketiga adalah karena produk budaya itu sesungguhnya adalah harta yang tak ternilai harganya, dan sifatnya kekal. Berbeda dengan hasil
tambang misalnya, yang ketika produk atau bendanya habis maka tak lagi dapat diadakan. Produk budaya memiliki sifat yang beda dengan benda.
Produk budaya selain memiliki nilai benda atau wujudnya, namun yang lebih bernilai dan tak akan habis "dijual" adalah nilainya yang tidak nampak. Nilai seninya, nilai sejarahnya, ideologi, falsafah dan lainnya. RUH didalam produk budaya inilah yang sesungguhnya dapat "memperkaya" bagi sebuah masyarakat yang memiliki dan mengurusnya dengan baik. Produk budaya akan memperkaya batin dan materi atau ideologi dan finansial.
Jadi pantaslah jika Malaysia cukup sering ingin membuat klaim terhadap produk budaya Indonesia. Persoalannya adalah tidak hanya mengapa mereka ingin, namun mengapa masyarakat Indonesia seringkali "kurang mengurus" dengan baik apa yang dimikinya.Â
Contoh nyatanya adalah kita sering mengatakan bangga terhadap Batik dan Batik adalah produk budaya yang Indonesia banget. Namun kalau kita amati benar, yang terjadi Batik hanya digunakan saat kondangan atau acara formil lainnya. Batik tidak menjadi bagian keseharian masyarakat, kalaupun sekolah mewajibkan menggunakan Batik, biasanya hanya sekali seminggu dan itu termasuk bagus.
Kebiasaan lebih menghargai produk budaya asing di Indonesia nyatanya dilakukan terus menerus dan justru di citrakan sebagai tanda modernitas.
Karya Cokot dan Cokotisme adalah sebuah karya "budaya" yang memiliki nilai tak berbatas. Karya seperti ini seharusnya di kelola dan dihargai oleh kita semua, khususnya masyarakat seni rupa.
Kalau kita kembali kepada persoalan klaim produk budaya Indonesia oleh Malaysia di atas. Maka bagaimana jika suatu hari seorang seniman patung Malaysia membuat pernyataan bahwa karyanya yang mirip karya Cokot dipublikasi sebagai ciptaan barunya. Dan ketika gaya cokot menjadi dikenal sebagai gaya pematung Malaysia, apakah kita masih layak marah marah. Lalu kembali mengaduk aduk data yag sangat minim tentang keberadaan Cokot dan karyanya. Apakah sikap responsif seperti ini memang menjadi ciri budaya kita juga?
Karya Cokot sudah mencapai kelas maestro, hal ini tentu memiliki banyak hal yang perlu dikaji, dicatat, dipublikasi, dihidupkan dan terus dihargai. Berbagai cara dan usaha untuk mengawetkan Cokotisme sesungguhnya adalah menjaga harta yang tak ternilai dan tak lagi dapat diperbaharui, karena keberadaan Cokot dan karyanya sesungguhnya tak akan dapat diulang atau diadakan. Kelahiran seniman dan karyanya adalah karunia alam yang perlu terus dirawat dan dihargai.
Menggali harta karun
Banyak orang ingin menciptakan pekerjaan untuk mendukung kehidupannya, khususnya di era pandemi saat ini. Berbagai pekerjaan "konvensional" mulai dipertanyakan kelangsungannya. Pandemi covid 19 bisa jadi adalah sebuah momen perubahan jaman atau budaya. Banyak hal yang konvensional bisa atau malah harus berubah total. Sekolah online misalnya. Kebiasaan baru seperti ini jika terus diperpanjang dan menemukan bentuknya yang ideal, bisa jadi akan membuat sekolah berubah konsep yang dulunya harus memiliki gedung sekolah dengan metode tatap muka, maka akan berubah menjadi total sekolah online.
Akibatnya sangatlah drastis karena gedung sekolah tidak lagi dibutuhkan dan akan diganti dengan gedung yang lebih kecil berisi perangkat komputer dan lainnya. Guru pengajar juga tidak harus hadir di sekolah. Akibatnya guru tinggal di Jogja dapat juga mengajar di Jakarta dan sebaliknya. Demikian juga siswanya, sudah tidak lagi tergantung lokasi dimana ia tinggal, karena siswa dapat belajar dari siapa saja dimana saja gurunya berada.
Apakah perubahan jaman dan budaya seperti contoh diatas juga akan menerpa dunia seni rupa? Jawabannya adalah : Pasti ! Â Banyak hal yang bisa saja terjadi didalam dunia seni rupa. Galeri konvensional yang menggunakan gedung akan berpikir ulang untuk "melawan" galeri online. Sekolah seni rupa juga bisa jadi menjadi sekolah online.Â
Seniman juga bisa kehilangan teritorial atau batas wilayahnya. Kolektor atau pecinta seninya dapat dari mana saja, dari seluruh dunia. Perubahan perubahan infra struktur seni rupa seperti ini tentu akan berakibat pada kwantitas karya. Keterbukaan dunia melalui jaringan internet akan "memaksa" semua memilih posisinya kembali sesuai kebutuhan dan kemampuannya.
Namun demikian sebuah budaya atau khususnya karya seni tetap akan memiliki "DNA" Â nya sendiri, karena karya seni bukanlah perwujudan dari komposisi bahan yang dapat diperjualbelikan.
Orang bisa saja membuat makanan yang sama rasanya walau ia berada di lokasi yang berbeda, karena bahan yang dibuatnya relatif sama. Namun demikian karya seni tak akan dapat dibuat oleh orang lain untuk menghasilkan karya yang sama, bahkan kalau di teliti lebih tajam, senimannya sendiri nyaris tak dapat membuat karya yang sama.
Mengapa demikian? Tak lain karena karya seni itu membutuhkan rasa untuk mewujudkannya. Rasa yang akan muncul pada saat senimannya berkarya, imajinasinya, ketrampilannya dan juga bahannya selalu berbeda setiap kali seniman berkarya.
Cokotisme sesungguhnya sebuah "menu" atau "rumusan" yang dihasilkan dari perjalanan panjang senimannya, baik perjalanan waktu maupun perjalanan spiritual. Rumusan untuk menghasilkan karya yang kini kita sebut Cokotisme semacam ini sesungguhnya sebuah harta karun. Karena dengan menggunakan rumusan cokotisme maka seseorang lebih mudah untuk menghasilkan karya yang baik dan memiliki nilai jual.
Metoda Cokot merespon kayu secara utuh dan kadang membalik posisinya, dengan menempatkan bagian akar atau bawah pohon menjadi bagian atas, juga sebuah "rumus" yang jitu untuk menghasilkan sensasi unik.
Cara menatah kayu yang kasar tanpa diamplas, juga memungkinkan masyarakat mengikuti gaya Cokot, metode seperti ini sangat efisien dan ekonomis, namun dibalik itu dengan tampilan yang "kasar ini justru ekspresinya bertambah kuat dan magis. Demikian juga finishingnya yang umumnya tidak di varnis (mengkilat) juga menunjukan sesuatu yang alamiah dan malah "bernyawa".
Menghargai karya Cokot dan Cokotisme, menggali data yang terpendam, mempublikasikannya, "menghidupkan" karya kerabat Cokot dan mengurusnya dengan baik, sesungguhnya adalah usaha menjaga dan merawat harta karun yang dapat meningkatkan devisa.
Kesenian atau kebudayaan sebagai produk tentu tak dapat secara langsung diintervensi atau dicampur adukan dengan bisnis. Biarlah seniman berkarya sebebas dan sejujur mereka mengungkapkan perasaan dalam berkesenian. Namun tentu produk kesenian tak dapat dibiarkan begitu saja "menunggu" nasibnya. Marketing, promosi, manajement dan lain lainnya adalah bagian lain dari kegiatan seni rupa. Namun sejatinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa itu sendiri.
Chryshnanda Dwilaksana, menyadari hal ini harus mulai dia lakukan karena dia peduli dengan kesenian dan kehidupan bangsa ini. Penerbitan buku Cokot dan Cokotisme serta berbagai kegiatan menumbuhkembangkan Cokotisme, seperti menyediakan berbagai fasilitas untuk kerabat Cokot berkarya adalah  usaha nyata untuk mewujudkan  imajinasi Chryshnanda Dwilaksana dalam ikut membangun negri ini melalui budaya. Agar manusianya semakin manusiawi.
Semoga semua yang dilakukan dan diimpikan banyak seniman Indonesia untuk dapat berkarya dan menjadi bagian penting dari pertumbuhan dan perkembangan  kehidupan bangsa ini dapat terwujud dengan maksimal.
Yulianto Liestiono
Depok 23 Okt 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H