Pada lukisan abstrak juga ada yang dapat digolongkan menjadi abstrak ekspresionis dan ada abstrak yang  geometris.Untuk memahami berbagai gaya dalam seni rupa ada baiknya kita melihat karya dari banyak perupa yang mengerjakan karyanya dalam satu gaya. Misal kita melihat karya Piet Mondrian dan juga karya Jackson Pollock atau karya Fadjar Sidik dan juga karya Amri Yahya. Mereka adalah pelukis / tokoh abstrak yang memiliki ciri karya yang sangat beda.
Dengan berdasar pemahaman diatas, Cokotisme dapat dikatakan bukan menunjuk pada sebuah gaya tertentu dalam seni patung. Cokotisme lebih menukik pada gaya senimannya dalam mengerjakan patungnya.
Ciri ciri patung Cokot, baik dari konsepnya, materi atau bahannya serta teknik pengerjaannya yang sangat unik dan memiliki karakter yang kuat inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa karya tertentu yang terindikasi atau memiliki banyak kesamaan dengan karya karya Cokot, maka karya tersebut dapat digolongkan menjadi karya yang  ke- Cokot Cokotan dan lebih mudah kita sebut sebagai karya Cokotisme / gaya Cokot.
Demikian landasan pemikiran untuk membahas / membicarakan ada tidaknya Cokotisme di Bali. Apa pentingya persoalan Cokotisme dan lainnya? Siapa pematung pematung Bali yang dapat digolongkan dalam kelompok (Cokotisme) ini ? Â Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang Cokotisme, kita perlu membaca beberapa artikel dari berbagai penulis seni rupa yang ada di berbagai media, Brosur/Katalog pameran dan lainnya.
Tujuan penulisan Cokotisme adalah untuk memperkaya literasi seni rupa khususnya seni patung Bali. Selain itu dengan memahami karya karya Maestro Seni Rupa termasuk Karya Cokot maka kita dapat menghargai, merawat dan ikut memperkaya khasanah seni rupa kita. Hingga seni rupa Indonesia semakin kokoh dan berkembang dengan baik, karena dapat berdiri diatas sejarah panjang dan kuat dari tokoh tokoh perupa terdahulu.
Pentingnya menghargai Cokotisme
Kita pasti masih ingat dan tahu bahwa sudah seringkali Malaysia membuat klaim terhadab satu atau beberapa produk budaya Indonesia, seolah merekalah yang memilikinya. Dan ketika mereka melakukan hal tersebut sontak banyak dari warga Indonesia "marah marah" dan menyatakan sikap menolak bahkan kadang sampai ingin mulai bermusuhan. Kondisi seperti ini cukup sering, namun terus berulang dan berulang. Dan umumnya di ujung ujungnya beritanya menguap tidak terjelaskan.
Dari peristiwa seperti ini ada beberapa hal yang dapat dicatat. Pertama hal tersebut menunjukan bahwa produk budaya Indonesia diminati, paling tidak oleh masyarakat Malaysia.Â
Kedua adalah karena produk budaya Indonesia "memungkinkan" untuk mereka klaim sebagai produk budayanya. Kata memungkinkan disini saya artikan sebagai memiliki potensi untuk disamarkan sebagai budaya mereka. Karena rumpun masyarakat Indonesia dan Malaysia mirip atau sama.Â
Ketiga adalah karena produk budaya itu sesungguhnya adalah harta yang tak ternilai harganya, dan sifatnya kekal. Berbeda dengan hasil
tambang misalnya, yang ketika produk atau bendanya habis maka tak lagi dapat diadakan. Produk budaya memiliki sifat yang beda dengan benda.
Produk budaya selain memiliki nilai benda atau wujudnya, namun yang lebih bernilai dan tak akan habis "dijual" adalah nilainya yang tidak nampak. Nilai seninya, nilai sejarahnya, ideologi, falsafah dan lainnya. RUH didalam produk budaya inilah yang sesungguhnya dapat "memperkaya" bagi sebuah masyarakat yang memiliki dan mengurusnya dengan baik. Produk budaya akan memperkaya batin dan materi atau ideologi dan finansial.