Dia lahir di bawah bayang, cinta yang tak sempurna, Â
Dari ibu yang dingin, kata-kata yang melukai jiwa. Â
Dalam senyum yang dipaksa, dia sembunyikan luka, Â
Menjaga hati kecilnya, meski rapuh dan tak berdaya.
Bertumbuh dalam sunyi, dia belajar bertahan, Â
Merajut mimpi sendiri, di tengah malam yang kelam. Â
Namun luka itu tetap di sana, selalu mengintai, Â
Menggenggam hatinya erat, membuatnya terasa hampa.
Dia mencari teman, tempat berlindung dan percaya, Â
Namun dunia penuh duri, tak seperti yang dia kira. Â
Orang yang dia panggil sahabat, menusuk dari belakang, Â
Meninggalkan luka baru, di hati yang tak lagi utuh.
Setiap kali dia jatuh, dia bangkit lagi berdiri, Â
Namun hatinya semakin patah, meski tetap mencoba peduli. Â
Dikhianati berkali-kali, dia terus mencari jawab, Â
Mengapa kasih sayang selalu berakhir dalam gelap.
Di antara reruntuhan mimpi, dia berdiri sendiri, Â
Menyadari, tak semua orang layak dijadikan sahabat sejati. Â
Dia memungut serpihan hati, menyatukan yang tersisa, Â
Menempa dirinya, menjadi kuat meski terluka.
Kini dia tahu, kepercayaan adalah hal berharga, Â
Tak bisa diberikan sembarang, pada mereka yang tak peka. Â
Luka ibu dan sahabat mengajarinya satu hal, Â
Bahwa dalam patah, dia menemukan dirinya yang kental.
Patah, namun tak hancur, dia berjalan dengan hati waspada, Â
Menghadapi dunia yang keras, dengan jiwa yang lebih dewasa. Â
Meski luka-luka itu masih terasa, dia memilih untuk terus berjalan, Â
Menemukan jalan, meski dengan hati yang penuh bekas luka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI