Mohon tunggu...
Yuliana Choerul Reza
Yuliana Choerul Reza Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur

Hidup itu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Komunikasi Publik Jubir Covid-19 Reisa Broto Asmoro: Representasi Gender dalam Perspektif Feminisme

8 Juli 2021   20:58 Diperbarui: 8 Juli 2021   21:21 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran feminisme liberal didasari dari ketidaksetujuan bahwa rasionalitas merupakan tujuan pendidikan yang diperuntukkan untuk laki-laki, bukan perempuan. 

Subordinasi yang terjadi pada perempuan karena ada suatu sekumpulan budaya dan hukum yang membatasi akses dan sukses perempuan di sektor publik.   

Perempuan merupakan aktor yang membuat keputusan bagi diri mereka sendiri. Karakteristik rasionalitas ini dibutuhkan bagi individu didalam memimpin dan mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dapat dikategorikan sebagai tindakan yang efektif apabila memenuhi empat indikator yakni rasionalitas, logis, realistis sert pragmatis (Siagian dalam Murniati, 2004: 57). 

Rasionalitas dan logis merupakan ciri maskulin, pargmatis dan realistis merupakan ciri yang feminim. Dengan melihat bahwa rasionalitas hanya milik laki-laki maka perempuan dianggap tidak layak menjadi pimpinan. Padahal penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu menggabungkan pendekatan rasional dan logis dengan pendekatan intuitif. Sifat intuitif hampir dimiliki oleh semua perempuan (Murniati, 2004:59). 

Feminisme liberal dalam tujuan panjangnya untuk memberdayakan perempuan mengambil posisi dalam masyarakat di era terbuka ini melalui autonomi perempuan dengan  memfeminisasi ranah publik tetapi tetap menjaga ranah privat. Untuk mencapai kesetaraan politis serta agar dapat masuk ke ranah lain seperti ekonomi, pemikir feminisme liberal percaya bahwa kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sama merupakan tonggak bagi perempuan (Arnott dan Dillabough, 2006). Tidak hanya itu, kecenderungan isu yang diangkat oleh perempuan ketika berada dalam politik. 

Thomas (1994) dalam Orborn (2010) mengemukakan bahwa perempuan dalam kursi legislatif lebih memprioritasikan kebijakan yang berkenaan dengan perempuan  yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, anak-anak, dan  keluarga.  Hal ini sesuai dengan ekspekstasi kultural dan sosial mereka dalam masyarakat. 

Sedangkan laki-laki dipandang lebih layak untuk menangani isu-isu yang lebih maskulin seperti ekonomi, luar negeri dan politik. Isu-isu yang cenderung ditangani oleh laki-laki ini merupakan isu-isu yang berada pada ranah isu maskulin seperti militer, politik, ketahanan, serta ekonomi. Hal ini berkebalikan dengan isu yang biasanya ditangani oleh politisi perempuan.  
Isu feminin adalah isu yang berkenaan dengan ekspektasi kultural mereka untuk bertingkah feminin. Ekspektasi bagi perempuan adalah bertingkah feminin diantaranya perempuan diharapkan penuh kasih sayang, suka merawat sekitarnya, mengagumi keindahan. 

Atas dasar ekspektasi tersebut, isu-isu yang feminin berkisar pada isu-isu yang lekat dengan  perempuan serta isu tradisional seperti keluarga, atau isu-isu yang melibatkan rasa compassion seperti pendidikan, pemberdayaan kaum miskin, kesehatan, masyarakat lanjut usia. 

Selain itu perempuan dinilai lebih feminist dan liberal dalam orientasi kebijakan mereka (Clark, Staehli dan Brunell, 1995: 212). Untuk itu melihat dr Reisa menjadi wakil yang tepat  dari gender perempuan dalam memimpin penyampaian informasi berkaitan dengan penanganan Covid-19.

Teori Komunikasi Feminisme

Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut : 

  1. Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja. 
  2. Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.
  3. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguat perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun