Sebelum dikenal sebagai waduk, kawasan ini adalah perkampungan dan area persawahan dataran rendah dikelilingi pegunungan.
Konon katanya, kala musim penghujan perkampungan tersebut kerap terendam banjir. Hal tersebut membuat warga yang tinggal di kawasan terdampak banjir bermigrasi ke perkampungan sekitar.
Pada suatu masa, Belanda memanfaatkan air di Rawa Jombor untuk dialirkan ke daerah Cawas hingga Pedan. Serta lahan-lahan yang di tanami tebu. Tepatnya di Pabrik Tebu Manisharjo, Kecamatan Pedan.
Namun, air tidak bisa dialirkan lantaran terhalang bukit. Lalu Pemerintah kolonial Belanda membuat terowongan sekaligus pintu kontrol yang menembus perbukitan. Bukit tersebut lebih dikenal dengan nama Gunung Pegat.
Menurut sumber, pembuatan terowongan sepanjang 1-1,5 kilometer diperkirakan mulai tahun 1910 dan berakhir pada  tahun 1924.
Mengenal Lebih Dekat Gunung Pegat
Keberadaan Gunung Pegat di selatan Rawa Jombor tersebut lebih mirip sebuah bukit. Sejauh mata memandang terlihat pohon tinggi menjulang. Tumbuh rerimbunan pohon jati, mahoni, kayu putih dan lain sebagainya.
Di lereng gunung selain ditumbuhi pepohonan, ada empat pemukiman warga. Di sebelah barat gunung terdapat Desa Krakitan, sisi selatan Brumbumg dan Krikilan. Sedangkan sebelah timur Desa Jotangan Kecamatan Bayat(tempat kelahiran penulis).
Dibalik panorama dan keasrian Gunung Pegat, diam-diam menyimpan riwayat. Adanya 5 sumur Raksasa(Luweng Tua). Konon katanya, diberi nama Sumur Tirto Mili( sumur banyu mili).