Mohon tunggu...
Yuliyanti
Yuliyanti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yuli adja

Yuliyanti adalah seorang Ibu Rumah Tangga memiliki kesibukan mengurus bisnis keluarga. Sebagai penulis pemula telah meloloskan 7 antologi. Penulis bisa ditemui di IG: yuliyanti_yuli_adja Bergabung di Kompasiana 20, Oktober 2020

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Terowongan dan Sumur Raksasa di Gunung Pegat, Saksi Sejarah Kolonial Belanda

18 September 2022   10:43 Diperbarui: 18 September 2022   19:56 4720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sumur Raksasa/sumber gambar: www.kureta.id/sumur-raksasa-di-klaten-obyek-wisata-yang-tertunda.


Napak tilas jejak perjuangan. Menyusuri waktu, mengurai kisah peninggalan era kolonial Belanda
.


Menggali sejarah merupakan cara indah, untuk menemukan sudut pandang baru tentang kehidupan yang kita jalani.

Meskipun sejarah merupakan masa lalu dari kehidupan kita, keberadaannya bisa dipelajari untuk memahami bagaimana kita dan menjadi seperti apa saat ini.

***

Pada hari Ahad 25 Agustus 2022 lalu, selepas aktivitas saya pulang mengunjungi ibu. Selain rutinitas, bermaksud menggali lebih dalam tempat bersejarah yang berada tidak jauh dari kediamannya. Sebab, ibu satu-satunya cucu pengukir sejarah.

***

Foto saluran air Rawa Jombor/ sumber foto: detik.com/foto-news/d-5554384/melihat-luweng-dan-saluran-air-peninggalan-belanda-di-gunung-pegat-klaten
Foto saluran air Rawa Jombor/ sumber foto: detik.com/foto-news/d-5554384/melihat-luweng-dan-saluran-air-peninggalan-belanda-di-gunung-pegat-klaten

Bicara soal peninggalan zaman belanda, setidaknya ada beberapa bangunan yang masih digunakan hingga saat ini. Yaitu, saluran air yang melewati terowongan di bawah gunung sepanjang 1-1,5 kilometer.

Saluran air menembus gunung. Selatan Rawa Jombor.Dokpri yuliyanti
Saluran air menembus gunung. Selatan Rawa Jombor.Dokpri yuliyanti

Pula Sumur Raksasa atau Luweng Tua yang berada di Gunung Pegat Selatan Rawa Jombor, Klaten. Bagaimana sejarahnya, mari kita ulas bersama.

Sebagaimana dilansir Solopos.com-Rawa Jombor dikenal sebagai waduk yang terletak di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

Sebelum dikenal sebagai waduk, kawasan ini adalah perkampungan dan area persawahan dataran rendah dikelilingi pegunungan.

Konon katanya, kala musim penghujan perkampungan tersebut kerap terendam banjir. Hal tersebut membuat warga yang tinggal di kawasan terdampak banjir bermigrasi ke perkampungan sekitar.

Pada suatu masa, Belanda memanfaatkan air di Rawa Jombor untuk dialirkan ke daerah Cawas hingga Pedan. Serta lahan-lahan yang di tanami tebu. Tepatnya di Pabrik Tebu Manisharjo, Kecamatan Pedan.

Namun, air tidak bisa dialirkan lantaran terhalang bukit. Lalu Pemerintah kolonial Belanda membuat terowongan sekaligus pintu kontrol yang menembus perbukitan. Bukit tersebut lebih dikenal dengan nama Gunung Pegat.

Pintu kontrol air di Desa Krakitan. Selatan Rawa Jombor. Dokpri yuliyanti
Pintu kontrol air di Desa Krakitan. Selatan Rawa Jombor. Dokpri yuliyanti

Menurut sumber, pembuatan terowongan sepanjang 1-1,5 kilometer diperkirakan mulai tahun 1910 dan berakhir pada  tahun 1924.

Mengenal Lebih Dekat Gunung Pegat

Keberadaan Gunung Pegat di selatan Rawa Jombor tersebut lebih mirip sebuah bukit. Sejauh mata memandang terlihat pohon tinggi menjulang. Tumbuh rerimbunan pohon jati, mahoni, kayu putih dan lain sebagainya.

Rerimbunan di antara tebing dan lereng Gunung Pegat. Dokpri yuliyanti
Rerimbunan di antara tebing dan lereng Gunung Pegat. Dokpri yuliyanti

Di lereng gunung selain ditumbuhi pepohonan, ada empat pemukiman warga. Di sebelah barat gunung terdapat Desa Krakitan, sisi selatan Brumbumg dan Krikilan. Sedangkan sebelah timur Desa Jotangan Kecamatan Bayat(tempat kelahiran penulis).

Dibalik panorama dan keasrian Gunung Pegat, diam-diam menyimpan riwayat. Adanya 5 sumur Raksasa(Luweng Tua). Konon katanya, diberi nama Sumur Tirto Mili( sumur banyu mili).

Sumur pertama ditandai warna biru. Dokumen yuliyanti
Sumur pertama ditandai warna biru. Dokumen yuliyanti

Sumur pertama di dekat pintu kontrol irigasi, dan sudah ditandai warna biru. Menurut beberapa sumber, sumur tersebut memiliki diameter 10 meter, bibirnya ditumbuhi tumbuhan liar.

Sedangkan sumur kedua tidak jauh dari luweng pertama. Hanya beberapa meter jaraknya. Namun saya tidak mengambil gambarnya karena tertutup rerimbunan pohon. Selain itu, jalan di lereng gunung sempit dengan satu tikungan tajam sedikit curam. Jadi harus hati-hati dan segera melintas.

Sumur ketiga, di perbatasan Desa Jotangan dan Krikilan Bayat. Dokpri yuliyanti
Sumur ketiga, di perbatasan Desa Jotangan dan Krikilan Bayat. Dokpri yuliyanti

Sumur ketiga terletak di perbatasan Desa Jotangan dan Krikilan. Lebih tepatnya sisi selatan lereng Gunung Pegat. Luweng tersebut dipenuhi rerumputan pula tumbuhan jati milik warga sekitarnya. 

Saat mengambil gambar dari bahu jalan raya, nampak beberapa pengendara melintasi Gunung Pegat. Di lereng kiri dipenuhi pohon jati dan mahoni. Sisi kanan area ladang warga Krikilan, Jotangan dan keberadaan sumur tua.

Sisi timur gunung, mengarah ke Desa Jotangan. Dokpri yuliyanti
Sisi timur gunung, mengarah ke Desa Jotangan. Dokpri yuliyanti

Sumur keempat, di lereng Gunung Pegat, Desa Jotangan Bayat.
Sumur keempat, di lereng Gunung Pegat, Desa Jotangan Bayat.

Kondisi sumur keempat dan kelima tidak jauh berbeda dengan luweng lainnya, penuh rerumputan. Sewaktu saya mengambil gambar dari pinggir tebing. 

Sumur kelima di Gunung Pegat, Jotangan, Bayat, Klaten. Dokpri yuliyanti.
Sumur kelima di Gunung Pegat, Jotangan, Bayat, Klaten. Dokpri yuliyanti.

Menurut penuturan ibu, pembuatan sumur raksasa  semasa ayah beliau(kakek saya) masih sekolah. Dulu sekolahnya masih menggunakan tulisan serta berbahasa daerah(bahasa Jawa).

Dari situlah, riwayat pembuatan sumur tua menjadi kisah turun temurun di keluarga kami.

"Sumur kuwi umure wis atusan tahun Nduk. Wiwit soko Mbah Buyutmu, Mbah Kakung(Ayahnya ibu). Terus Mbokmu, nganti sak iki kowe wis nduwe anak."

[ Sumur itu umurnya sudah ratusan tahun Nduk. Sedari Eyang Buyutmu, Kakekmu(Ayahnya ibu) terus ibumu, sampai sekarang ini kamu dah punya anak."]

Seandainya dihitung, sumur tersebut sudah mengalami 4 hingga 5 generasi. Berikut silsilah dalam keluarga kami. 

Adapun generasi pertama selaku Mandor Pembangunan sumur tua tersebut adalah Kakeknya ibu, bernama Wira Sentana. Beliau Eyang Buyut saya.

Eyang Buyut mempunyai tiga putra yaitu:

1. Wasi

2. Kasiman

3. Suwita(ayah dari ibu)

Putra ketiga (Suwita) menikah dengan gadis sunda(Bandung) dari pernikahan beliau lahirlah ibu saya, pada 04 Mei 1951.

Nah, secuil kisah silsilah yang mengawali pembuatan sumur raksasa. Maka bisa dipastikan bahwa umur sumur tersebut sudah ratusan tahun.

Mendengar penuturan ibu, saya pun berselancar menggali kebenaran tentang pembangunan sumur tersebut.

Mengutip dari detiknews.com-Sumur Tirto Mili yang mempunyai terowongan di bawah gunung. Panjangnya sekitar 1- 1,5 kilometer dengan 5 celah udara yang mirip sumur(luweng). 

Luweng  tersebut memiliki diameter 10-15 meter. Proyek dibangun sekitar tahun 1911 hingga selessi pada tahun 1924.

Sekalipun terowongan tersebut sudah berumur ratusan tahun, namun masih kokoh dan berfungsi untuk mengalirkan air dari Rawa Jombor.

Sumur diberi pagar pembatas oleh warga sekitar. Konon, akan dijadikan wisata. Tetapi hingga kini belum terealisasi karena pandemi.

Foto Sumur Raksasa/sumber gambar: www.kureta.id/sumur-raksasa-di-klaten-obyek-wisata-yang-tertunda_
Foto Sumur Raksasa/sumber gambar: www.kureta.id/sumur-raksasa-di-klaten-obyek-wisata-yang-tertunda_

Sebagaimana dilansir oleh detik.com-Sumur Raksasa tersebut memiliki keunikan lain dari kisah sumur tua lainnya. Yaitu memiliki dinding lima tingkatan(berundak susun) dengan diameter terkecil di tingkat paling bawah. 

Nampak beberapa tumbuhan liar menempel di dinding sumur menambah kesan tua ber aura mistis.

Dari semua sumur diketahui mulut luweng terbesar diterletak di Desa Jotangan. Memiliki diameter sekitar 10-15 meter dan kedalamannya berkisar 50 meter. Dengan saluran irigasi menuju Desa Jotangan, Cawas, dan Pedan.

Nah, itulah secuil kisah sejarah peninggalan Belanda pinggiran kota penulis. Semoga tetap terjaga kelestarian serta kemanfaatan untuk sesama.

Saluran irigasi dari terowongan Gunung Pegat di Desa Jotangan, Bayat. Dokpri yuliyanti
Saluran irigasi dari terowongan Gunung Pegat di Desa Jotangan, Bayat. Dokpri yuliyanti

Sumber bacaan 1, 2 

#SumurRaksasaPeninggalanBelanda

#Artikelyuliyanti

#TulisanKe-364

#Klaten, 18 September 2022

#MenulisdiKompasiana


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun