[caption caption="Gunung Semeru merupakan Gunung berapi aktif, dia akan mengeluarkan letusan stiap 15 menit sekali dan mengeluarkan kepulan asap yang tinggi, dan ini merupakan ciri khas gunung semeru | Ilustrasi: kfk.kompas.com/"][/caption]Gunung Semeru adalah Gunung Tertinggi di Pulau Jawa dan merupakan Gunung Api tertinggi ke-3 di Indonesia setelah Gunung Rinjani dan Gunung Kerinci. Keindahannya ternyata sudah dieksplorasi sejak zaman penjajahan Inggris, jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Tercatat dalam sejarah patung kembar (Arcapada) di lereng Mahameru ditemukan oleh Stamford Raffles, Jenderal Inggris yang berkuasa pada waktu itu. Sayangnya, keberadaan Arcapada sekarang sudah tidak diketahui akibat letusan yang pernah terjadi. Sejarah lain mencatat bahwa klasifikasi iklim menurut ketinggian yang ditemukan oleh Jung Hun, ternyata ide pemikirannya diperoleh dari pendakian Gunung Semeru.
Gunung Semeru termasuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS) dengan luas 50.276 hektar yang wilayahnya mencakup 4 Kabupaten yaitu Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan. Terdapat berbagai macam spesies flora dan fauna dilindungi yang terdapat di TN BTS khususnya di wilayah Gunung Semeru. Puncak Gunung Semeru (Mahameru) sendiri berada di Kabupaten Lumajang, tepatnya di Kecamatan Senduro.
[caption caption="Tim Ekspedisi, saya kedua dari kiri."]
Ekspedisi yang dilakukan selama 5 hari 4 malam mempunyai tujuan mengamati limbah di Gunung Semeru. Limbah dibagi menjadi tiga jenis, yaitu limbah air di Danau Ranu Kumbolo, limbah sampah di sepanjang jalur pendakian dan shelter, dan limbah udara akibat dari pembakaran sampah dan api unggun yang dilakukan banyak pendaki. Tim terdiri dari 7 orang yang terdiri dari 2 orang fotografer, 2 orang pencari data, 2 orang logistik, dan pemimpin tim.
Karena hanya sebatas siswa SMA yang belum paham betul tentang penelitian, ditambah lagi dengan peralatan terbatas dan sedikit personel, maka hasilnya juga tidak seberapa detail seperti hasil penelitian di Perguruan Tinggi. Berikut hasil pengamatan dan pencarian informasi.
[caption caption="Salah satu pemandangan ramainya pendaki Gunung Semeru. (opini.id)"]
Pihak TN BTS kewalahan jika melakukan pemeriksaan perizinan satu per satu karena banyaknya pendaki. Sebenarnya maksud pembatasan jumlah pendaki 1000 orang bukan karena tidak ada tempat mendirikan tenda atau Gunung Semeru penuh sesak, namun ada alasan lain yaitu untuk memelihara ekosistem karena dikhawatirkan banyaknya jumlah pendaki akan berbuat semaunya.
Membludaknya jumlah pendaki ini, menurut salah seorang pengelola TN BTS terjadi akibat rilisnya film 5 cm yang mengambil gambar di Gunung Semeru, akhirnya banyak orang-orang yang ingin mendaki hanya untuk mencari kesenangan dan melihat keindahan saja. Pendaki korban film inilah yang sering tidak tertib. Mereka membuang sampah sembarangan, mencuci piring seenaknya, membuat api unggun, dan lain sebagainya, hanya untuk memenuhi tujuan mereka: kesenangan semata.
[caption caption="Ranu Kumbolo, indah namun sudah tercemar. (wisatajatim.com)"]
Minyak dan detergen tersebut berasal dari cucian bekas alat makan di danau yang dipakai pendaki. Memang tidak ada berefek jika yang melakukannya hanya satu orang atau satu rombongan, namun jika yang melakukannya ribuan orang setiap hari, lambat laun permukaan danau Ranu Kumbolo akan tertutup minyak yang tentu mengakibatkan terganggunya ekosistem air di sana.
Tidak ada peraturan tertulis yang melarang pendaki melakukan cuci alat makan di danau, yang ada hanya larangan mandi demi alasan keselamatan. Perlu kesadaran dari pribadi masing-masing untuk tidak melakukan hal yang salah tersebut, juga sesama pendaki harap mengingatkan satu sama lain untuk menjaga kealamian dan keasrian salah satu danau yang terindah di Jawa Timur ini.
[caption caption="Tumpukan sampah di shelter Kalimati. (dokumentasi rekan)"]
Sampah yang telah menumpuk di atas tidak terurus dan sesekali dibakar karena tidak mungkin dibawa turun. Bahkan di Kalimati, sampah menumpuk sampai ketinggian 1,5 meter dan sangat mengganggu pemandangan. Pembakaran sampah yang dilakukan terus menerus akan mempengaruhi kualitas udara di sekitar Gunung Semeru, maka dari itu cara ini tidak disarankan. Biasanya ada kelompok pecinta alam yang melakukan kegiatan bersih gunung untuk membersihkan sampah. Inilah momen positif, yang secara tulus menjaga kelestarian alam meskipun tidak menerima imbalan apa pun.
Kembali lagi, perlu kesadaran dari pendaki. Syarat utama yang harus dimiliki pendaki gunung adalah jiwa penjaga dan perawat alam, bukan hanya penikmat alam. Selain itu perlu tindakan tegas dari pengelola TN BTS untuk menertibkan masalah sampah ini dengan memberi tindakan tegas bagi pendaki yang melanggar.
Keempat, fasilitas toilet yang sangat minim membuat para pendaki membuang kotoran sembarangan. Hanya di shelter Ranu Kumbolo yang terdapat toilet dan kondisinya pun sudah tidak layak digunakan. Sulit mencari toilet bahkan tidak adanya toilet memang risiko utama mendaki gunung. Para pendaki bisa membuang kotoran di mana saja asal terhindar dari jalur pendakian dan jauh dari tempat camping. Cara untuk membuang kotoran yang benar adalah menggunakan metode kucing, yaitu gali lubang dan tutup lubang.
Bau yang tidak sedap tercium saat pendaki mencoba menyusuri pinggiran danau. Di situ terdapat banyak “ranjau” yang hanya ditutup dengan dedaunan kering. Tidak hanya satu, banyak sekali mungkin ribuan. Hal ini bisa membawa dampak negatif yaitu tersebarnya penyakit di kalangan pendaki, apalagi lokasi ranjau hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat camping. Mungkin perlu adanya sosialisasi dalam membuang kotoran dengan benar untuk pendaki yang kurang bisa menggunakan otaknya untuk berpikir.
Keempat, dari hasil altimeter yang kami bawa, ketinggian puncak Mahameru bukan lagi 3676 mdpl. Hal itu mungkin disebabkan karena pasir yang semakin hari semakin menurun akibat pendakian. Juga karena aktivitas vulkanik yang sedikit demi sedikit melongsorkan pasir dan tanah. Tidak ada pihak yang disalahkan dalam hal ini karena sudah merupakan takdir dan di luar kemampuan manusia untuk mengatasinya.
Hal serupa bisa saja terjadi di gunung-gunung lain di Indonesia. Sehingga perlu diadakan pengukuran ulang ketinggian gunung, mungkin setiap 10 tahun sekali untuk memperbarui database ketinggian dan bisa disajikan dalam bentuk statistik.
Inilah beberapa hasil ekspedisi yang diperoleh dan masih banyak lagi yang mungkin akan saya publish kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H