[caption caption="Tumpukan sampah di shelter Kalimati. (dokumentasi rekan)"]
Sampah yang telah menumpuk di atas tidak terurus dan sesekali dibakar karena tidak mungkin dibawa turun. Bahkan di Kalimati, sampah menumpuk sampai ketinggian 1,5 meter dan sangat mengganggu pemandangan. Pembakaran sampah yang dilakukan terus menerus akan mempengaruhi kualitas udara di sekitar Gunung Semeru, maka dari itu cara ini tidak disarankan. Biasanya ada kelompok pecinta alam yang melakukan kegiatan bersih gunung untuk membersihkan sampah. Inilah momen positif, yang secara tulus menjaga kelestarian alam meskipun tidak menerima imbalan apa pun.
Kembali lagi, perlu kesadaran dari pendaki. Syarat utama yang harus dimiliki pendaki gunung adalah jiwa penjaga dan perawat alam, bukan hanya penikmat alam. Selain itu perlu tindakan tegas dari pengelola TN BTS untuk menertibkan masalah sampah ini dengan memberi tindakan tegas bagi pendaki yang melanggar.
Keempat, fasilitas toilet yang sangat minim membuat para pendaki membuang kotoran sembarangan. Hanya di shelter Ranu Kumbolo yang terdapat toilet dan kondisinya pun sudah tidak layak digunakan. Sulit mencari toilet bahkan tidak adanya toilet memang risiko utama mendaki gunung. Para pendaki bisa membuang kotoran di mana saja asal terhindar dari jalur pendakian dan jauh dari tempat camping. Cara untuk membuang kotoran yang benar adalah menggunakan metode kucing, yaitu gali lubang dan tutup lubang.
Bau yang tidak sedap tercium saat pendaki mencoba menyusuri pinggiran danau. Di situ terdapat banyak “ranjau” yang hanya ditutup dengan dedaunan kering. Tidak hanya satu, banyak sekali mungkin ribuan. Hal ini bisa membawa dampak negatif yaitu tersebarnya penyakit di kalangan pendaki, apalagi lokasi ranjau hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat camping. Mungkin perlu adanya sosialisasi dalam membuang kotoran dengan benar untuk pendaki yang kurang bisa menggunakan otaknya untuk berpikir.
Keempat, dari hasil altimeter yang kami bawa, ketinggian puncak Mahameru bukan lagi 3676 mdpl. Hal itu mungkin disebabkan karena pasir yang semakin hari semakin menurun akibat pendakian. Juga karena aktivitas vulkanik yang sedikit demi sedikit melongsorkan pasir dan tanah. Tidak ada pihak yang disalahkan dalam hal ini karena sudah merupakan takdir dan di luar kemampuan manusia untuk mengatasinya.
Hal serupa bisa saja terjadi di gunung-gunung lain di Indonesia. Sehingga perlu diadakan pengukuran ulang ketinggian gunung, mungkin setiap 10 tahun sekali untuk memperbarui database ketinggian dan bisa disajikan dalam bentuk statistik.
Inilah beberapa hasil ekspedisi yang diperoleh dan masih banyak lagi yang mungkin akan saya publish kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H