Mohon tunggu...
Sam
Sam Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Padi tumbuh tak berisik. -Tan Malaka

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mulai dari Tercemarnya Ranu Kumbolo, sampai Puncak yang Tidak Lagi 3676 Mdpl

8 April 2016   16:49 Diperbarui: 9 April 2016   01:15 2858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gunung Semeru merupakan Gunung berapi aktif, dia akan mengeluarkan letusan stiap 15 menit sekali dan mengeluarkan kepulan asap yang tinggi, dan ini merupakan ciri khas gunung semeru | Ilustrasi: kfk.kompas.com/"][/caption]Gunung Semeru adalah Gunung Tertinggi di Pulau Jawa dan merupakan Gunung Api tertinggi ke-3 di Indonesia setelah Gunung Rinjani dan Gunung Kerinci. Keindahannya ternyata sudah dieksplorasi sejak zaman penjajahan Inggris, jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Tercatat dalam sejarah patung kembar (Arcapada) di lereng Mahameru ditemukan oleh Stamford Raffles, Jenderal Inggris yang berkuasa pada waktu itu. Sayangnya, keberadaan Arcapada sekarang sudah tidak diketahui akibat letusan yang pernah terjadi. Sejarah lain mencatat bahwa klasifikasi iklim menurut ketinggian yang ditemukan oleh Jung Hun, ternyata ide pemikirannya diperoleh dari pendakian Gunung Semeru.

Gunung Semeru termasuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS) dengan luas 50.276 hektar yang wilayahnya mencakup 4 Kabupaten yaitu Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan. Terdapat berbagai macam spesies flora dan fauna dilindungi yang terdapat di TN BTS khususnya di wilayah Gunung Semeru. Puncak Gunung Semeru (Mahameru) sendiri berada di Kabupaten Lumajang, tepatnya di Kecamatan Senduro.

[caption caption="Tim Ekspedisi, saya kedua dari kiri."]

[/caption]Hasil Pengamatan Ekspedisi REPALA SMA 1 Pasuruan

Ekspedisi yang dilakukan selama 5 hari 4 malam mempunyai tujuan mengamati limbah di Gunung Semeru. Limbah dibagi menjadi tiga jenis, yaitu limbah air di Danau Ranu Kumbolo, limbah sampah di sepanjang jalur pendakian dan shelter, dan limbah udara akibat dari pembakaran sampah dan api unggun yang dilakukan banyak pendaki. Tim terdiri dari 7 orang yang terdiri dari 2 orang fotografer, 2 orang pencari data, 2 orang logistik, dan pemimpin tim.

Karena hanya sebatas siswa SMA yang belum paham betul tentang penelitian, ditambah lagi dengan peralatan terbatas dan sedikit personel, maka hasilnya juga tidak seberapa detail seperti hasil penelitian di Perguruan Tinggi. Berikut hasil pengamatan dan pencarian informasi.

[caption caption="Salah satu pemandangan ramainya pendaki Gunung Semeru. (opini.id)"]

[/caption]Pertama, mulai tahun 2013 pendakian gunung Semeru meningkat sampai dengan 3 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam sehari sedikitnya 500 orang berada di atas Gunung Semeru, apalagi jika hari libur dan akhir pekan. Pihak pengelola TN BTS telah membatasi perizinan pendaki hanya sampai 1000 orang per hari, namun tetap saja karena sangat banyak, pendaki yang tidak mendapat izin kemudian melakukan pendakian secara ilegal.

Pihak TN BTS kewalahan jika melakukan pemeriksaan perizinan satu per satu karena banyaknya pendaki. Sebenarnya maksud pembatasan jumlah pendaki 1000 orang bukan karena tidak ada tempat mendirikan tenda atau Gunung Semeru penuh sesak, namun ada alasan lain yaitu untuk memelihara ekosistem karena dikhawatirkan banyaknya jumlah pendaki akan berbuat semaunya.

Membludaknya jumlah pendaki ini, menurut salah seorang pengelola TN BTS terjadi akibat rilisnya film 5 cm yang mengambil gambar di Gunung Semeru, akhirnya banyak orang-orang yang ingin mendaki hanya untuk mencari kesenangan dan melihat keindahan saja. Pendaki korban film inilah yang sering tidak tertib. Mereka membuang sampah sembarangan, mencuci piring seenaknya, membuat api unggun, dan lain sebagainya, hanya untuk memenuhi tujuan mereka: kesenangan semata.

[caption caption="Ranu Kumbolo, indah namun sudah tercemar. (wisatajatim.com)"]

[/caption]Kedua, Permukaan air Danau Ranu Kumbolo sudah tercemar minyak dengan persentase sekitar 35% dari total 8 hektar luasnya sejak 10 tahun terakhir. Kenaikan pencemaran terbesar terjadi pada rentan waktu antara tahun 2011 s.d. 2013, dan terus meningkat sampai sekarang. Jika dilihat dengan saksama dari atas bukit, terdapat warna air yang berbeda antara tepian danau dan bagian tengah. Di tepian danau yang sedikit terlihat keruh itulah lapisan minyak dan detergen berada.

Minyak dan detergen tersebut berasal dari cucian bekas alat makan di danau yang dipakai pendaki. Memang tidak ada berefek jika yang melakukannya hanya satu orang atau satu rombongan, namun jika yang melakukannya ribuan orang setiap hari, lambat laun permukaan danau Ranu Kumbolo akan tertutup minyak yang tentu mengakibatkan terganggunya ekosistem air di sana.

Tidak ada peraturan tertulis yang melarang pendaki melakukan cuci alat makan di danau, yang ada hanya larangan mandi demi alasan keselamatan. Perlu kesadaran dari pribadi masing-masing untuk tidak melakukan hal yang salah tersebut, juga sesama pendaki harap mengingatkan satu sama lain untuk menjaga kealamian dan keasrian salah satu danau yang terindah di Jawa Timur ini.

[caption caption="Tumpukan sampah di shelter Kalimati. (dokumentasi rekan)"]

[/caption]Ketiga, sampah mulai banyak menumpuk di shelter Ranu Kumbolo dan Kalimati karena tidak dibawa turun oleh pendaki. Sementara sepanjang jalan setapak juga banyak dijumpai sampah berserakan. Sebenarnya dalam prosedur perizinan, ada salah satu poin yang menginstruksikan untuk membawa sampah turun kembali dan tidak dibuang di atas gunung. Namun karena tidak ada pengecekan secara teliti yang dilakukan pihak TN BTS saat pendaki turun, maka banyak pendaki yang meremehkan dan tidak ambil pusing dengan cara meninggalkan sampah di atas.

Sampah yang telah menumpuk di atas tidak terurus dan sesekali dibakar karena tidak mungkin dibawa turun. Bahkan di Kalimati, sampah menumpuk sampai ketinggian 1,5 meter dan sangat mengganggu pemandangan. Pembakaran sampah yang dilakukan terus menerus akan mempengaruhi kualitas udara di sekitar Gunung Semeru, maka dari itu cara ini tidak disarankan. Biasanya ada kelompok pecinta alam yang melakukan kegiatan bersih gunung untuk membersihkan sampah. Inilah momen positif, yang secara tulus menjaga kelestarian alam meskipun tidak menerima imbalan apa pun.

Kembali lagi, perlu kesadaran dari pendaki. Syarat utama yang harus dimiliki pendaki gunung adalah jiwa penjaga dan perawat alam, bukan hanya penikmat alam. Selain itu perlu tindakan tegas dari pengelola TN BTS untuk menertibkan masalah sampah ini dengan memberi tindakan tegas bagi pendaki yang melanggar.

Keempat, fasilitas toilet yang sangat minim membuat para pendaki membuang kotoran sembarangan. Hanya di shelter Ranu Kumbolo yang terdapat toilet dan kondisinya pun sudah tidak layak digunakan. Sulit mencari toilet bahkan tidak adanya toilet memang risiko utama mendaki gunung. Para pendaki bisa membuang kotoran di mana saja asal terhindar dari jalur pendakian dan jauh dari tempat camping. Cara untuk membuang kotoran yang benar adalah menggunakan metode kucing, yaitu gali lubang dan tutup lubang.  

Bau yang tidak sedap tercium saat pendaki mencoba menyusuri pinggiran danau. Di situ terdapat banyak “ranjau” yang hanya ditutup dengan dedaunan kering. Tidak hanya satu, banyak sekali mungkin ribuan. Hal ini bisa membawa dampak negatif yaitu tersebarnya penyakit di kalangan pendaki, apalagi lokasi ranjau hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat camping. Mungkin perlu adanya sosialisasi dalam membuang kotoran dengan benar untuk pendaki yang kurang bisa menggunakan otaknya untuk berpikir.

Keempat, dari hasil altimeter yang kami bawa, ketinggian puncak Mahameru bukan lagi 3676 mdpl. Hal itu mungkin disebabkan karena pasir yang semakin hari semakin menurun akibat pendakian. Juga karena aktivitas vulkanik yang sedikit demi sedikit melongsorkan pasir dan tanah. Tidak ada pihak yang disalahkan dalam hal ini karena sudah merupakan takdir dan di luar kemampuan manusia untuk mengatasinya.

Hal serupa bisa saja terjadi di gunung-gunung lain di Indonesia. Sehingga perlu diadakan pengukuran ulang ketinggian gunung, mungkin setiap 10 tahun sekali untuk memperbarui database ketinggian dan bisa disajikan dalam bentuk statistik.  

Inilah beberapa hasil ekspedisi yang diperoleh dan masih banyak lagi yang mungkin akan saya publish kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun