Mohon tunggu...
Fransisca Yuliyani
Fransisca Yuliyani Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pecinta bunga matahari | Gratitude Practitioner

Menulis untuk meninggalkan jejak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aruna dan Cintanya

6 Maret 2023   13:55 Diperbarui: 6 Maret 2023   14:00 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(ilustrasi:PngTree)

Amel menggelengkan kepala ketika sepasang mata almondnya menyadari seikat mawar putih di tempat sampah. Kelakuan siapa lagi kalau bukan Aruna, si cewek paling batu yang pernah Amel kenal? Wanita itu melangkah cepat dan mengambilnya sebelum membuka pintu toko roti sahabatnya.

"Runa, Runa. Harusnya lo bisa menghargai pemberian Rusdi. Dia udah ngelakuin yang terbaik buat lo. Gimana perasaannya kalau dia tahu lo buang semua bunga yang pernah dia kasih?" ujar Amel, langsung to the point.

Aruna masih sibuk menyortir roti ke keranjang, sesekali menulis sesuatu di bukunya. Wanita berambut sebahu itu seperti tak menganggap keberadaan Amel.

"Oh, satu lagi. Rusdi juga udah merelakan waktu dan tenaganya buat merenovasi bagian depan toko roti lo. Masak iya, lo tega banget?" lanjut Amel, meletakkan bunga tadi di meja sebelum mengambil kue lumpur di piring. 

Aruna mendesah pelan dan menatap sahabatnya yang asyik mengunyah.

"Tapi gue nggak pernah minta apapun dari dia. Lagian, gue bermaksud bayar dia buat merenovasi tapi ditolak. Soal bunga. Kenapa dia nggak belajar dari pengalaman? Lebih baik mundur daripada sakit hati, kan?" balas Aruna dengan santai sebelum membereskan meja kerjanya.

Amel melongo mendengar penuturan sahabatnya. "Gue nggak ngerti ya, sama jalan pikiran lo. Padahal gue yakin banget Rusdi itu dikirim Tuhan buat pengganti Reon."

Aruna menghentikan kegiatannya. Selama ini, hidup Aruna hanya berfokus pada lelaki berkulit legam itu. Reon yang begitu manis luar dalam dan mampu membahagiakan Runa sekaligus mematahkan seluruh harapannya.

"Aku nggak bisa LDR, Reon. Apa kamu nggak bisa membatalkan pekerjaanmu?"

Reon meraih tangan Aruna dan menggenggamnya. Tapi wanita itu tidak lagi merasakan kehangatan. 

"Ini pekerjaan yang kuimpikan dari dulu, Run. Jarak Malang-Jakarta memang jauh tapi kita masih bisa video call, kan?"

Aruna tidak membalas perkataan Reon. Semua berakhir begitu saja. Sejak hari itu Aruna menyesali keputusannya dan kembali menghubungi Reon, tapi lelaki itu tidak pernah membalasnya. Wanita itu jadi menghabiskan waktu buat menebak bagaimana perasaan Reon padanya.

"Jujur ya, Run. Lo itu membuang kesempatan emas buat bahagia. Gue yakin, Reon udah bahagia dengan pilihannya. Nah, lo mau sampai kapan mengasihani diri dan berharap sama dia?"

Aruna kembali menatap sahabatnya yang mengembalikannya pada masa kini. 

"Tapi gue yakin Reon masih suka sama gue. Sebentar lagi dia pasti hubungin gue dan minta maaf karena udah buat gue nunggu lama."

Amel melongo tak percaya dengan apa yang didengarnya. Entah dari mana Aruna punya keyakinan yang begitu kuat. Memang benar kan, kalau Aruna ini nggak bisa dibilangin?

"Okay, terserah lo deh sekarang. Gue kemari mau memastikan acara buat minggu depan. Lo udah siapin semua? Ada yang perlu gue bantu?"

Amel akan mengadakan syukuran karena ia mendapat pekerjaan baru yang lebih baik. Ia meminta tolong Aruna buat menyiapkan makanan dan dekorasi tempat. Amel hanya ingin memastikan Aruna benar-benar sibuk dan tidak tenggelam dalam kenangan bersama Reon. "Semua pesanan minggu ini pasti selesai. Soal dekorasi dan acara, ada team gue yang siap bikin acara lo jadi makin berkesan."

Amel mengangguk ketika ia melihat desainnya. Yah, all is well. Tapi untuk kali ini, Aruna tidak perlu tahu kalau Reon mau datang juga. Nanti Aruna malah jadi terlalu berharap dan semua akan menjadi rumit.

**

Malam itu, toko roti Aruna terlihat berbeda. Susunan kursinya ditata rapi dengan bantal kecil warna pastel yang lembut. Seharian ini Rusdi tidak mengganggunya dengan kiriman bunga atau pesan apapun karena Aruna sudah mengingatkannya dengan tegas. Aruna mengulas senyum penuh kelegaan. Saat itulah Amel datang, lengkap dengan keceriaannya. Namun, ada satu sosok yang membuat jantung Aruna berdetak dua kali lebih cepat. Lelaki berkulit legam dengan lesung pipi itu. Reon. 

Dia pasti datang untuk menemuiku, batin Aruna.

Wanita itu masih berdiri mematung ketika Amel mengguncang lengannya. "Run, jangan bengong gitu. Ini acaranya mau mulai, kan? Gue.."

"Kenapa lo nggak bilang kalau ada Reon? Setidaknya gue bisa persiapkan sesuatu yang spesial. Kalau kayak gini, gue harus gimana?" ujar Aruna, memangkas perkataan Amel.

Amel mendesah pelan. "Runa Sayang, Reon kemari karena dia mau melihat perkembangan toko roti lo. Lagian, dia udah bahagia sama cewek lain."

Aruna membesarkan mata mendengar kalimat terakhir Amel. "Bohong," balas Aruna dengan tajam. Ia kini menatap Reon yang tengah berbincang dengan wanita berambut pendek. Sesekali tangan Reon membelai kepala wanita itu. Ada sembilu dalam hati Aruna. Semua penantiannya hanya sia-sia. 

"Gue harap lo udah dapat jawaban dan tahu apa yang harus lo lakuin. Maafin gue, Run. Gue nggak bisa cegah Reon buat kemari. Reon udah milih jalannya buat dapetin yang dia mau. Lo pasti bisa raih yang lebih baik dari dia, Run."

Aruna menggelengkan kepala seiring kedua matanya yang basah. Saat pandangan Reon bersirobok dengan Aruna, wanita itu tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia berbalik dan menaiki tangga. Amel ingin mengejar, tapi tangan lain menahannya. Dia Rusdi. 

"Biarkan dia sendiri dulu, Mel. Besok pagi kita temui dia lagi."

**

Sinar mentari memasuki kamar Aruna. Di tokonya yang juga merangkap rumah, wanita itu beristirahat. Semalaman ia menyalahkan takdir karena telah membawanya dalam duka. Aruna merapikan rambut sebelum mencuci wajah. Sekarang, ia tidak tahu bagaimana harus memulai semuanya. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.

Wanita itu dengan malas membukanya dan menemukan sosok lelaki yang tersenyum simpul padanya. Badan tegap dan kaca mata yang membingkai mata hitamnya menyorot penuh kelembutan. "Pagi, Runa. Aku harap kamu lebih baik ya, sekarang," kata Rusdi.

Aruna menatap wajah Rusdi dengan tajam. "Nggak usah basa-basi. Mau bilang apa?"

Rusdi menarik napas dalam sebelum menjawab. "Run, kamu pasti membenciku. Kamu selalu mengabaikanku. Tapi aku belajar kalau semua itu ada waktunya termasuk saat kamu harus menerima cinta seseorang."

Aruna memicingkan matanya. "Maksudmu?"

"Aku bukannya nggak bersimpati sama apa yang lagi kamu alami sekarang. Tapi aku udah memutuskan buat nggak lagi ganggu kamu," lanjut Rusdi.

Aruna terdiam. Ini bukan seperti Rusdi. Bukannya dia selalu siap sedia membantu?

"Aku udah menemukan seseorang yang selalu ada dalam tiap hal. Runa, kamu pun berhak bahagia. Jadi, saranku stop buang waktu kayak gini. Reon dan aku akan jadi masa lalu. Aku minta maaf karena memilih berhenti."

Aruna menatap gurat wajah Rusdi yang serius. Memang Runa tak punya hak untuk mencegah Rusdi. 

"Aku pamit. Sebentar lagi Amel kemari. Dia pasti bisa membuatmu senyum lagi. Thanks buat semuanya, Run."

Aruna hanya bisa termangu menyadari semua sudah terlambat. Rusdi pun akhirnya mundur. Detik itu, Aruna tidak tahu bagaimana perasaannya. Harus senang atau sebaliknya karena lagi-lagi ia kehilangan kesempatan. Satu hal yang ia tahu, ia harus belajar untuk memaafkan dan membuka hati untuk peluang yang lebih baik.

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun