Wanita itu dengan malas membukanya dan menemukan sosok lelaki yang tersenyum simpul padanya. Badan tegap dan kaca mata yang membingkai mata hitamnya menyorot penuh kelembutan. "Pagi, Runa. Aku harap kamu lebih baik ya, sekarang," kata Rusdi.
Aruna menatap wajah Rusdi dengan tajam. "Nggak usah basa-basi. Mau bilang apa?"
Rusdi menarik napas dalam sebelum menjawab. "Run, kamu pasti membenciku. Kamu selalu mengabaikanku. Tapi aku belajar kalau semua itu ada waktunya termasuk saat kamu harus menerima cinta seseorang."
Aruna memicingkan matanya. "Maksudmu?"
"Aku bukannya nggak bersimpati sama apa yang lagi kamu alami sekarang. Tapi aku udah memutuskan buat nggak lagi ganggu kamu," lanjut Rusdi.
Aruna terdiam. Ini bukan seperti Rusdi. Bukannya dia selalu siap sedia membantu?
"Aku udah menemukan seseorang yang selalu ada dalam tiap hal. Runa, kamu pun berhak bahagia. Jadi, saranku stop buang waktu kayak gini. Reon dan aku akan jadi masa lalu. Aku minta maaf karena memilih berhenti."
Aruna menatap gurat wajah Rusdi yang serius. Memang Runa tak punya hak untuk mencegah Rusdi.Â
"Aku pamit. Sebentar lagi Amel kemari. Dia pasti bisa membuatmu senyum lagi. Thanks buat semuanya, Run."
Aruna hanya bisa termangu menyadari semua sudah terlambat. Rusdi pun akhirnya mundur. Detik itu, Aruna tidak tahu bagaimana perasaannya. Harus senang atau sebaliknya karena lagi-lagi ia kehilangan kesempatan. Satu hal yang ia tahu, ia harus belajar untuk memaafkan dan membuka hati untuk peluang yang lebih baik.
Selesai