Semalam Ning tidak bisa tidur nyenyak. Dengingnya makin kencang dan konstan. Ia sudah memijat pipi dan lehernya tapi nihil. Ia juga memberi kompresan air hangat di lehernya. Tidak ada perubahan. Yang tersumbat tak juga mau terbuka. Jadi, Ning harus rela mendengarkan suara sumbang Joko dan celoteh Sri hingga tengah malam.Â
"Mbak, maafin saya, ya. Saya jadi nggak enak soalnya semalam saya berisik banget," ujar Joko menundukkan kepala.
"Aduh, aku juga, Ning. Suaraku kedengaran ya, pas ngobrol sama Masku? Maaf ya, Ning. Aku buatin kamu makanan, ya. Joko nanti ke minimarket dan bilang kalau kamu sakit."
Ning menatap keduanya sambil berpikir apa mungkin ini kenyataan.Â
"Nggak usah repot, Mbak, Jok. Aku bisa urus sendiri," jawab Ningsih, masih dengan suara pelan dan denging yang belum mau mengecil.Â
"Ning, kamu itu lagi sakit. Udah, jangan malu buat minta bantuan. Kami sekarang mau membayar kesalahan yang kemarin. Habis itu kita bisa ngobrol lagi, nyari solusi biar sama-sama enak. Ya kan, Jok?"
Joko mengiakan dengan cepat.
Ningsih menyadari keduanya begitu serius. Tak lama ia mengangguk. "Makasih banyak, ya. Saya nggak tahu harus gimana balas kebaikan kalian."
"Nggak usah dipikirin. Sekarang itu yang penting kamu sehat dulu. Ya udah, Jok. Cepat kamu ke minimarket biar Mbak masak. Ning, kamu lanjut tidur sana. Nanti Mbak bangunin kalau udah matang."
Dengan kalimat itu dan perhatian dari Sri dan Joko, Ning sekarang tahu kalau tetangga adalah keluarga yang paling dekat dengan kita. Mereka orang pertama yang mengulurkan tangan kalau kita kesusahan. Tidak melulu soal materi tapi kadang dukungan. Ningsih menghela napas dengan hati lega. Ia yakin, denging di telinga kanannya akan mengecil dan hubungannya dengan dua tetangganya membaik.Â
SELESAI