Mohon tunggu...
Fransisca Yuliyani
Fransisca Yuliyani Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pecinta bunga matahari | Gratitude Practitioner

Menulis untuk meninggalkan jejak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Pintu

4 Januari 2023   21:18 Diperbarui: 4 Januari 2023   21:22 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aduh, Mbak Sri. Bisa nggak ngomongnya pelan aja?" Aku mendesah pelan. Apa mungkin tembok pembatas kami sangat tipis? 

Jujur aku lelah dengan semua. Dua tetanggaku itu seperti tak bisa mengerti keadaanku. Sekarang memang belum waktunya tidur. Baru jam 8, tapi aku perlu tidur lebih awal karena besok aku masuk  pagi. Mendadak aku jadi kangen Ibu dan Bapak di kampung. Juga adikku yang bawelnya minta ampun. Mereka pasti bisa menenangkan dan jadi supporter terhebatku. Tapi, apa dayaku yang harus mencari tambahan uang di Jakarta. 

Aku mendesah pelan. Mengingat keluarga malah membuatku jadi makin sedih. Denging di telinga kanan kian terdengar, mengalahkan bunyi ceret yang kini sudah matang. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan yang mana suara dari telinga dan ceret sangking bersaingnya mereka. Perlahan aku mengambil gelas dan menuang bubuk teh dan air. Aku harap kantuk menjemput hingga tak perlu aku mendengar denging penuh penyiksaan dan suara menyebalkan tetanggaku.

***

Joko:

Aku menatap bulan yang bersemu awan di sekelilingnya. Cantik sekali. Melihatnya aku sedikit tenang dan melupakan pesan dari Bos yang mengatakan kalau besok adalah hari terakhir kerja. Aku bingung harus membalas apa. Mau minta keringanan, tentu tidak mungkin. Padahal situasi sedang sulit sejak Covid 19 menyerang. 

Aku menghela napas saat mataku bersirobok dengan gitar tua di meja. Sudah lama aku tidak memainkannya karena kesibukan dan larangan dari Mbak Ning. Tetanggaku itu sangat sensitif dengan bunyi. Ah, kalau saja dia mengerti ini adalah lagu yang kubuat untuk wanita pujaanku, Lastri. 

"Tapi ini satu-satunya hiburan saya, Mbak," ujarku sore itu. 

Mbak Ning berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Persis kayak emak yang memarahi anaknya. "Iya, saya paham. Tapi, Mas juga lihat waktu ,dong. Ini udah malam. Orang-orang mau istirahat," balasnya dengan wajah dingin.

Saat itu aku tak mau membantahnya lagi apalagi dia sempat bilang kalau punya masalah telinga. Wah, kalau sampai dia kenapa-napa ngeri juga. 

Tapi kan, itu sudah lewat sebulan yang lalu. Masa iya dia masih sensitif? Lagipula aku tak bisa lagi membendung rasa untuk kembali bernyanyi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun