Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Berbagai Kenangan tentang "Ngeteh" Bersama

24 Desember 2024   08:48 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:04 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudahkah anda 'ngeteh' hari ini?

Mendengar kata 'ngeteh' yang langsung tergambar dalam benak saya adalah minum teh bersama dengan keluarga. 

Aih, terbayang cangkir rumah lengkap dengan lepeknya yang berwarna putih kekuningan. Di dalamnya ada teh buatan ibuk yang hangat sedikit panas dengan aroma melati. Sedap sekali. 

Tradisi 'ngeteh' di pagi hari selalu dilakukan sejak kami masih kecil. Saya ingat favorit kami adalah Teh 999 dan Teh Gopek. Kedua teh lokal tersebut memiliki wangi segar. Begitu dituang air panas, kesegarannya langsung menguar mewarnai pagi kami.

Tradisi 'ngeteh' bersama paling terasa dilakukan di hari Minggu. Hari yang selalu diisi dengan kesibukan bapak dengan jahitannya, dan ibuk yang duduk bersama kami menikmati teh dalam cangkir masing-masing. Bapak dengan teh tubruk, sementara kami semua teh yang sudah disaring.

Tentu saja minum teh bersama dilakukan ketika kami sudah selesai bersih-bersih. Ah ya, tugas saya ketika itu menyapu dan mengepel lantai, adik menyapu halaman sementara mas saya menimba air.

Ilustrasi minum teh bersama keluarga (sumber gambar: Kompas.com)
Ilustrasi minum teh bersama keluarga (sumber gambar: Kompas.com)

Selesai dengan tugas masing masing kami duduk di ruang depan. Saat ngeteh adalah saat yang sangat menyenangkan. Saat dimana bapak bercerita tentang apa saja, ditambah candaan kami dan tak ketinggalan lagu-lagu yang disetel dari tape kesayangan kami.

Ada lagu-lagunya Jim Reeves, Andy William, Deep Purple, Francis Goya, Bimbo, Ebiet dan banyak lagi. Ya, lagu-lagu Bapak yang akhirnya menjadi lagu kegemaran kami. Bahkan sampai sekarang playlist saya di hp maupun laptop isinya lagu-lagu itu.

Kegemaran 'ngeteh' terus terbawa di keluarga saya sendiri, mulai anak-anak masih kecil hingga besar. Saat ini kami mulai mengenal teh celup. Untuk anak-anak saya lebih suka membuatkan teh celup karena lebih praktis. 

Ketika akan makan di luar, untuk memilih tempat makan, satu hal yang saya jadikan pertimbangan adalah rasa tehnya. Ya, warung yang tehnya sedap pasti akan sering kami kunjungi 

Dari berbagai macam teh yang disajikan yang menjadi teh favorit saya adalah nesgitel. Artinya teh yang panas, legi dan kenthel (panas, manis dan kental). Begitu minum teh ini, byar..., rasanya mata langsung melek dan capek-capek terasa hilang.

Dari sekian banyak teh yang saya nikmati ada satu teh yang sangat berkesan di hati saya, dan saya anggap sebagai teh tersedap yang pernah saya rasakan.

Teh tersebut adalah ketika saya pergi ke Jogjakarta untuk menjenguk anak saya yang baru pindah kos.

Ya, anak saya ketika itu pindah ke kawasan Jalan Kaliurang untuk mendekati kampusnya. Ia masih duduk di semester satu saat itu. Jadi hitungannya masih maba.

Teh celup (sumber gambar: Kompas.com)
Teh celup (sumber gambar: Kompas.com)

"Ibuk ke tempat kos mu ya..," kata saya lewat telpon saat itu. Ia baru saja mengabarkan kalau seminggu yang lalu pindah kos dengan dibantu teman temannya.

"Ibuk sama siapa?" tanya anak saya.

"Sama adikmu, nanti habis ujian," jawab saya 

Di hari yang ditentukan kami berangkat. Berdua saya dan anak saya naik travel. Mengapa travel? Saat itu saya belum biasa naik kereta api, dan anak saya masih baru di Jogja. Saya tidak mau dia nanti repot harus menjemput di stasiun.

"Kos an ku dekat Rumah Makan Sederhana, ya Buk," kata anak saya sambil memberikan sebuah alamat.

Sesuai janji travel, kami dijemput pukul sebelas. Dan menurut perkiraan kami akan sampai di Jogja sekitar maghrib.

Perjalanan berjalan lancar, travel berisi penuh penumpang. Ternyata yang mempunyai tujuan Jogja lumayan banyak. Jadinya begitu masuk kota Jogja kami berputar- putar dulu mengantar para penumpang ke tempat tujuannya.

Sampai Isyak kami belum juga menuju Kaliurang. Perut mulai lapar 

"Ibuk sampai di mana?" tanya anak saya lewat WhatsApp.

"Ini masih muter-muter antar penumpang, Le," jawab saya.

Jam setengah delapan belum ada tanda tanda ke Jl Kaliurang. Penumpang tersisa tiga. Saya, anak saya dan satu orang penumpang. 

Ketika satu penumpang diturunkan di sebuah daerah (saya lupa namanya), mobil langsung menuju Jl Kaliurang.

"Ternyata kita terakhir, " bisik anak saya sambil tersenyum. Tampak sekali dia sangat lelah.

"Kita nanti makan di Rumah Makan Sederhana dekat kos an masmu saja ya," bisik saya. Seperti halnya saya, dia pasti lapar.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan . Mobil kami mulai masuk wilayah jalan Kaliurang. Saya fokus ke kanan jalan. Mencari tulisan Rumah Makan Sederhana, karena anak saya berjanji menunggu di depan rumah makan.

Akhirnya yang kami cari ketemu juga. Meski tulisan Rumah Makan Sederhana tidak tampak oleh saya, tapi saya melihat anak saya berdiri di tepi jalan. 

"Di sini saja, Pak," kata saya pada sopir. 

Saya segera turun dan anak saya langsung berlari menyambut kedatangan saya dan adiknya.

"Ayo makan dulu Le, adikmu lapar," kata saya begitu tas saya dibawa anak saya.

"Ke Rumah Makan Sederhana yuk..," ajak saya.

Anak saya tersenyum. 

"Mahal sepertinya Buk.. itu rumah makannya," kata anak saya sambil menunjuk sebuah rumah makan besar dan tampak mewah. Tulisannya besar-besar dan bagus, "Restoran Sederhana"

Waduh..bayangan saya Rumah Makan Sederhana itu seperti di daerah saya. Rumah makan kecil dengan bangunannya yang sederhana, masakannya yang enak, dan harganya terjangkau.

Tapi yang ini..., melihat bangunnya saja tiba- tiba saya khawatir kalau uang saya tidak cukup. Apalagi namanya bukan rumah makan tapi restoran. He..he...

Tidak sederhana ini.., pikir saya.

Niat makan di Rumah Makan Sederhana langsung batal. 

"Makan di mana ini enaknya, Le? " tanya saya.

"Ayo cari magelangan saja," katanya sambil menuju sebuah gerobak tak jauh dari restoran. Di situ disediakan beberapa kursi plastik untuk yang pesan makanan.

"Magelangan tigo, Pak..," kata anak saya.

Magelangan adalah nasi goreng dengan tambahan mie dan disajikan dengan krupuk kecil-kecil.

"Teh e rumiyin nggih," kata saya. Perjalanan yang lama membuat saya capek dan benar benar butuh 'ngeteh'.

"Nggih, Bu," jawab penjualnya sigap.

Tak berapa lama tiga gelas teh dihidangkan. Hangat agak panas dengan aromanya yang harum. Sangat cocok dinikmati di malam hari yang mulai terasa dingin

Begitu saya minum, ah.., sedap sekali. 

"Alhamdulillah.. uenak Le," kata saya lega. Anak- anak saya juga mulai menyeruput teh mereka.

Kami mulai berbincang. Hidangan yang datang membuat perbincangan kami semakin hangat. Lalu-lalang orang sama sekali tidak mengganggu keasyikan kami.

Sungguh, rasa haus, lelah dan lapar membuat teh dan magelangan terasa begitu istimewa, seistimewa pertemuan kami malam itu.

Arti istilah: 

Teh e rumiyin nggih: tehnya duluan ya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun