Pagi itu saya tiba tiba mendapatkan kiriman semangkuk bubur dari seorang teman.Â
"Bubur Suro," katanya. Aha.., senang sekali..karena teman saya ini pintar sekali memasak. Ia sering menerima pesanan berbagai macam masakan.
Setelah teman saya pamit pulang, dengan tak sabar saya membuka wadah plastik dalam bentuk mangkuk tersebut.Â
Pasti lezat, pikir saya. Dan taraa.... Tampak sajian cantik di depan saya. Isinya bubur, sambal goreng , rawis telor dadar dan kacang. Tak lupa ada seledri sebagai pemanis.Â
Sendok segera saya ambil, dan segera saya icipi. Hmmm, tidak hanya cantik, bubur Suro ini juga demikian lezat.
Tentang Bubur Suro
Suro adalah adaptasi dari kata Asyura (10 Â Muharam), karena bubur Suro dibuat setiap bulan Muharam. Ada yang membuatnya tanggal 1 Muharam ataupun 10 Muharam.
Bubur Suro terbuat dari beras yang dimasak dengan aneka bumbu dan rempah tradisional seperti santan, serai, dan daun salam.
Ada yang membuatnya dengan bahan baku nasi, ada pula yang dari beras. Menurut teman saya, membuat bubur Suro dengan bahan baku beras lebih 'sedep', tapi lebih lama dibandingkan dari nasi. Dibanding bubur biasa rasa bubur Suro lebih gurih dan lezat.
Bubur Suro  biasanya didampingi oleh berbagai lauk yang berbeda-beda sesuai daerahnya.
Tradisi membuat bubur Suro mulai ada sejak masa Sultan Agung. Bubur Suro ini mempunyai makna rasa syukur atas segala berkah dan keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT.
Sedikit tentang Sultan Agung, beliau adalah raja besar Mataram yang mempunyai banyak keahlian, baik dalam ilmu politik, sosial, ekonomi, budaya maupun agama.Â
Sultan Agung adalah raja Mataram yang  berusaha menyesuaikan kebudayaan Hindu, Islam dan Jawa. Karena itu dalam budaya Jawa kita mengenal kalender Jawa yang banyak memiliki kesamaan dengan kalender Hijriyah.Â
Jika dalam kalender Hijriyah tahun baru ditandai dengan tanggal satu Muharam, maka dalam kalender Jawa dinamakan satu Suro.
Kembali pada bubur Suro, ciri khasnya  dalam penyajiannya selalu ada unsur biji-bijian. Seperti yang saya terima hai ini unsur biji-bijian ya adalah kacang.
Mengapa demikian? Hal tersebut merujuk dari kisah dalam  kitab I'anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati  yang menceritakan tentang bagaimana Allah menyelamatkan Nabi Nuh dan umatnya saat terjadi bencana banjir. Penyelamatan itu terjadi pada tanggal 10 Muharam atau Asyura.
Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa sesudah banjir besar dan terombang ambing di lautan  Nabi Nuh pun berlabuh dan turun dari kapal dalam kondisi lapar, sementara perbekalan mereka sudah habis.
Nabi Nuh lalu  memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan yang ada.Â
Nah, serentak umat Nabi Nuh  mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Ada yang membawa dua genggam biji gandum, biji adas, biji kacang ful, dan ada pula yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul tujuh macam biji-bijian.
Selanjutnya Nabi Nuh membaca doa pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu,  memasaknya, dan setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama. Meskipun tidak banyak, semua merasa  kenyang karena  berkah doa Nabi Nuh.
Dari berbagai sumber diperoleh keterangan bahwa tradisi asli penyajian bubur Suro selalu diikuti dengan berbagai ubo rampe yang meliputi sirih lengkap, kembar mayang dan sekeranjang buah-buahan.
Sirih lengkap menggambarkan penghormatan kita pada para leluhur.Â
Kembar mayang yang terdiri atas untaian bunga mawar merah, putih, juga untaian melati dan daun pandan juga memiliki makna tertentu.
Bunga mawar dan putih menggambarkan bahwa kita harus terus bersemangat melakukan segala langkah kita yang dilandasi dengan niat yang suci.Â
Rangkaian bunga melati dan irisan daun pandan menggambarkan bahwa pada akhirnya segala apa yang kita lakukan bertujuan untuk mengharumkan atau memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia.
Sedangkan buah-buahan menggambarkan harapan kita akan 'kemanisan ' atau kebahagiaan dalam hidup kita.
Sebuah filosofi yang indah. Meskipun sekarang penyajian bubur Suro tidak disertai dengan berbagai ubo rampe, saling mengantar bubur Suro masih dilakukan dengan semangat berbagi dan ungkapan rasa syukur atas segala karunia Ilahi.
Semoga bermanfaat, salam Kompasiana..
Sumber bacaan : NUonline
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H