Tradisi membuat bubur Suro mulai ada sejak masa Sultan Agung. Bubur Suro ini mempunyai makna rasa syukur atas segala berkah dan keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT.
Sedikit tentang Sultan Agung, beliau adalah raja besar Mataram yang mempunyai banyak keahlian, baik dalam ilmu politik, sosial, ekonomi, budaya maupun agama.Â
Sultan Agung adalah raja Mataram yang  berusaha menyesuaikan kebudayaan Hindu, Islam dan Jawa. Karena itu dalam budaya Jawa kita mengenal kalender Jawa yang banyak memiliki kesamaan dengan kalender Hijriyah.Â
Jika dalam kalender Hijriyah tahun baru ditandai dengan tanggal satu Muharam, maka dalam kalender Jawa dinamakan satu Suro.
Kembali pada bubur Suro, ciri khasnya  dalam penyajiannya selalu ada unsur biji-bijian. Seperti yang saya terima hai ini unsur biji-bijian ya adalah kacang.
Mengapa demikian? Hal tersebut merujuk dari kisah dalam  kitab I'anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati  yang menceritakan tentang bagaimana Allah menyelamatkan Nabi Nuh dan umatnya saat terjadi bencana banjir. Penyelamatan itu terjadi pada tanggal 10 Muharam atau Asyura.
Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa sesudah banjir besar dan terombang ambing di lautan  Nabi Nuh pun berlabuh dan turun dari kapal dalam kondisi lapar, sementara perbekalan mereka sudah habis.
Nabi Nuh lalu  memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan yang ada.Â
Nah, serentak umat Nabi Nuh  mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Ada yang membawa dua genggam biji gandum, biji adas, biji kacang ful, dan ada pula yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul tujuh macam biji-bijian.
Selanjutnya Nabi Nuh membaca doa pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu,  memasaknya, dan setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama. Meskipun tidak banyak, semua merasa  kenyang karena  berkah doa Nabi Nuh.