Tapi biarlah, bekerja masih jauh lebih terhormat daripada meminta-minta. Meski semakin menua, pekerjaan ini masih terus  ditekuninya. Yang penting selagi kuat ia akan terus berusaha.
Tiap hari sepulang sekolah Addin membantu kakeknya. Meski dilarang, Addin tetap ngotot. Ya, ia tak sampai hati melihat kakek yang semakin tua memilah plastik sendirian.
Melihat cucu kesayangannya ikut memilah plastik-plastik kakek sering merasa sedih. Lihatlah, jangankan untuk biaya sekolah. Bahkan ketika Addin masih duduk di SD seperti ini untuk makan sehari-hari saja susah. Bagaimana nanti kalau SMP? Apakah ada biaya untuk melanjutkan sekolah?
Ah, kakek tidak bisa membayangkan semua itu. Dihembuskannya asap rokok. Asap putih mengepul membentuk siluet gambar yang tak jelas. Suram. Sesuram bayangan kakek atas masa depan Addin.
Malam semakin larut. Addin masih berkutat dengan PR nya.
"Kek, merdeka itu artinya apa?" tanya Addin sambil memandang kakeknya.
"Ah, Addin pasti tahu itu .. ," jawab kakek sambil meneruskan kesibukannya.
"Bebas dari penjajahan?" kata Addin memastikan.
"Benar kan? Addin sudah tahu?" jawab kakek sambil tersenyum.
" Merdeka berarti kita bisa membangun negeri kita tanpa rasa takut pada penjajah ya Kek?"
"Benar itu.. merdeka berarti kita bisa membangun negeri kita, supaya rakyatnya adil dan makmur, bisa tercukupi kebutuhannya, bisa sekolah dan mendapat pendidikan yang layak...,"
"Oh ya? Berarti makan mudah, sekolah mudah, bahkan sampai tinggi juga?" tambah Addin bersemangat.
Kakek mengangguk. Getir.
"Yah, kalau begitu kita belum merdeka , Kek?" tambah Addin.
"Kenapa Addin bilang begitu?" tanya kakek ingin tahu
"Kan, kita makannya masih sering ngutang ke Buk Lin?" jawab Addin sambil tertawa.