Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Merdeka...!" (Sebuah Cerpen)

14 Agustus 2023   15:09 Diperbarui: 14 Agustus 2023   17:44 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak kecil membawa bendera merah putih, sumber gambar: Suara.com

Matahari makin tergelincir ke arah barat. Jalan kampung mulai sepi. Sesore ini banyak orang mulai beristirahat. Entah di rumah, atau sekedar berteduh di warung-warung di tepi jalan.

Rumah kecil itu masih menampakkan kesibukannya. Rumah sangat sederhana dengan dinding tripleks. 

Seorang anak kecil kira kira usia delapan tahun sedang sibuk memilah sampah dari sebuah karung.

Karung itu berisi berbagai macam plastik dan ia sedang memisahkan mana gelas plastik, mana botol plastik dan yang lain. Disendirikan sesuai bentuknya.

Tidak jauh dari tempatnya seorang laki-laki lima puluh tahunan sedang melakukan hal serupa. Hanya saja yang dipilah adalah kertas-kertas.

"Makan dulu, Addin," kata laki -laki itu.
Si anak tetap meneruskan pekerjaannya.
"Tanggung, Kek.. kurang sedikit,," jawabnya.

Si kakek tersenyum. Cucunya ini selalu mengingatkannya pada anaknya. Punya kemauan keras dan pantang menyerah.  Ya, ayah Addin adalah anaknya satu-satunya.

Mata kakek menerawang. Ia masih ingat Danu anaknya selalu melarangnya menekuni pekerjaan satu ini. 

"Bapak sudah tua, lagipula aku kuat membiayai kebutuhan bapak sehari-hari," kata Danu yang seorang kuli bangunan.

Ketika itu pandemi belum datang dan Addin masih begitu kecil.

Tapi siapa yang suka selalu menadahkan tangan pada anak? Diam-diam kakek selalu melakukan pekerjaannya meski tidak seperti dulu. Yang penting dia bisa mencari uang sendiri.

Tahun 2020 pandemi tiba-tiba datang dan merenggut nyawa satu demi satu orang-orang yang dicintainya. Ya, Danu sekaligus menantunya. Hingga akhirnya Addin harus tinggal bersamanya.

"Makan dulu Le, masuk angin nanti..,," kata si Kakek lagi.
Addin menghentikan pekerjaannya.
"Lha , kakek? Tidak makan?" tanya Addin sambil mencuci tangannya di pancuran yang ada di depan rumah.

Kakek menggeleng. "Gampang, Kakek belum lapar," katanya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Addin membuka nasi bungkus yang ada di hadapannya. Nasinya sudah mulai dingin. Tadi pas beli masih hangat. Tapi tak apa, nasi campur Buk Lin selalu enak dinikmati dalam kondisi hangat ataupun dingin. Apalagi perutnya sedang lapar.

Begitu dibuka tampak nasi, mie, oseng kacang panjang, bali tahu dan telur. Baunya begitu menggoda. Porsi nasinya berlipat.

Ya, Buk Lin tahu, sebungkus nasi biasanya dimakan berdua oleh Addin dan kakeknya. Karenanya nasinya selalu ditambah. 'Diimbuhi' , katanya.

"Punya kakek Addin taruh di piring ya..,," kata Addin sambil mulai makan. Rasa lelah membuat perutnya terasa lapar. Hmm, nasi campur Buk Lin memang tiada duanya.

Kakek tersenyum melihat Addin yang makan dengan lahap.
"Habiskan saja Le," katanya lembut
Addin menggeleng. 

"Kakek juga harus makan .. , nanti sakit," jawabnya singkat.
Kakek menggeleng. "Addin makan yang banyak, biar cepat besar," jawab kakek sambil tersenyum.

Sesekali dengan mata tuanya kakek memandang Addin sedih. Anak sekecil itu sejak kecil sudah diajak prihatin oleh sang kakek.

Tapi biarlah, bekerja masih jauh lebih terhormat daripada meminta-minta. Meski semakin menua, pekerjaan ini masih terus  ditekuninya. Yang penting selagi kuat ia akan terus berusaha.

Tiap hari sepulang sekolah Addin membantu kakeknya. Meski dilarang, Addin tetap ngotot. Ya, ia tak sampai hati melihat kakek yang semakin tua memilah plastik sendirian.

Melihat cucu kesayangannya ikut memilah plastik-plastik kakek sering merasa sedih. Lihatlah, jangankan untuk biaya sekolah. Bahkan ketika Addin masih duduk di SD seperti ini untuk makan sehari-hari saja susah. Bagaimana nanti kalau SMP? Apakah ada biaya untuk melanjutkan sekolah?

Ah, kakek tidak bisa membayangkan semua itu. Dihembuskannya asap rokok. Asap putih mengepul membentuk siluet gambar yang tak jelas. Suram. Sesuram bayangan kakek atas masa depan Addin.

Malam semakin larut. Addin masih berkutat dengan PR nya.
"Kek, merdeka itu artinya apa?" tanya Addin sambil memandang kakeknya.
"Ah, Addin pasti tahu itu .. ," jawab kakek sambil meneruskan kesibukannya.

"Bebas dari penjajahan?" kata Addin memastikan.
"Benar kan? Addin sudah tahu?" jawab kakek sambil tersenyum.
" Merdeka berarti kita bisa membangun negeri kita tanpa rasa takut pada penjajah ya Kek?"

"Benar itu.. merdeka berarti kita bisa membangun negeri kita, supaya rakyatnya adil dan makmur, bisa tercukupi kebutuhannya, bisa sekolah dan mendapat pendidikan yang layak...,"

"Oh ya? Berarti makan mudah, sekolah mudah, bahkan sampai tinggi juga?" tambah Addin bersemangat.

Kakek mengangguk. Getir.

"Yah, kalau begitu kita belum merdeka , Kek?" tambah Addin.

"Kenapa Addin bilang begitu?" tanya kakek ingin tahu
"Kan, kita makannya masih sering ngutang ke Buk Lin?" jawab Addin sambil tertawa.

Kakek ikut tertawa. Hatinya terasa ngilu.
"Wes, Ndang tidur.. besok sekolah..," katanya sambil menyelimuti tubuh Addin.

Hawa dingin di musim bediding membuat Addin cepat terlelap. Ada senyum tergambar di wajahnya. 

Dalam tidurnya  Addin bermimpi membawa bendera merah putih kecil bersama teman-teman sekolahnya sambil berteriak lantang, "Merdeka...!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun