"Wes, ayo bubuk semua," kata bapak sambil menutup ceritanya. Â
Kami segera mengambil tempat masing-masing dan memejamkan mata. Â Bayangan perang masih tergambar dalam ingatanku, namun langsung berganti dengan mimpi yang lain. Kami pulas tertidur.
Ritual bercerita sebelum tidur selalu dilakukan bapak setiap malam ketika kami masih kecil. Bahkan ketika kami sudah duduk di SD pun bapak masih sering bercerita, terutama  tentang sejarah dan wayang.
Sejarah berdirinya Singasari tuntas diceritakan sejak Ken Arok memesan keris pada Empu Gandring, hingga terbunuhnya tujuh orang oleh keris bertuah tersebut.Â
Ketika itu saya duduk di kelas 4 SD, dan bapak bercerita detail namun dengan bahasa yang bisa kami mengerti.
Satu hal yang sangat saya ingat tentang bapak adalah kegemaran beliau membaca. Di sela kegiatannya bapak selalu membaca. Apa saja, entah koran, majalah, bahkan komik.
Kompas, Sinar Harapan, Suara Indonesia sering ada di meja ruang tamu. Bapak membelinya eceran. Kadang ada juga serial komik Si Buta dari Goa Hantu yang dipinjam dari persewaan komik tidak jauh dari rumah saya.
Gemar membaca membuat bapak tahu segalanya. Paling tidak itu pandangan saya saat itu. Bapak selalu bisa menjelaskan dengan gamblang apapun yang saya tanyakan. Membaca benar- benar membuat pintar, pikir saya.Â
Dari membeli koran eceran bapak beralih ke berlangganan Kompas. Datangnya setiap sore hari. Siapa pembacanya? Bapak tentu saja. Kami semua belum bisa membaca.
Bobo pada bapak. Ya, karena dia tahu ada tiga anak kecil di rumah. Tanpa berpikir panjang bapak langsung mengiyakan.Â
Suatu saat Mas yang mengantar koran menawarkan majalah"Lha anak-anak kan belum bisa baca?" Protes ibuk. Â