Membaca tantangan "Kakek Merza Ajak Cucu Baca", tiba tiba mengingatkan saya pada bapak saya.Â
Ya, bapak adalah sosok yang telah menumbuhkan kegemaran membaca pada diri saya dengan caranya yang amat sederhana. Cara yang kemudian saya tiru untuk menumbuhkan minat baca pada anak-anak saya.
***
Malam semakin larut. Sinar lampu tempel yang diletakkan di sudut ruangan sesekali bergoyang tertiup angin. Ya, malam itu listrik mati di kampung kami.
Bayangan-bayangan di dinding kamar membuat siluet tertentu dan kadang menimbulkan rasa seram. Namun itu semua tak kami perhatikan. Ada yang lebih menarik. Di depan kami bertiga bapak tengah asyik membawakan ceritanya.
Malam itu bapak bercerita tentang Mahabarata, perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Cerita yang begitu panjang kini sampai pada klimaksnya.
Kami terpukau dengan cerita bapak. Gemuruh kereta di padang Kurusetra seolah begitu jelas tergambar di benak kami.
"Mengapa Karna tidak bergabung di Pandawa saja Pak?" Tanya saya saat itu.Â
Bapak tersenyum sambil mengemukakan alasan yang sulit diterima akal anak kecil seusia saya.
Bagaimana bisa persaudaraan dikalahkan oleh pertemanan? Lagipula kalau Karna bergabung dengan Pandawa pasti perang itu tidak terlalu panjang. Â Kesaktian Pandawa akan berlipat-lipat dan dalam waktu singkat Kurawa akan kalah, pikir saya saat itu.
Bapak mengakhiri ceritanya ketika adik saya yang masih kecil mulai menguap.
"Wes, ayo bubuk semua," kata bapak sambil menutup ceritanya. Â
Kami segera mengambil tempat masing-masing dan memejamkan mata. Â Bayangan perang masih tergambar dalam ingatanku, namun langsung berganti dengan mimpi yang lain. Kami pulas tertidur.
Ritual bercerita sebelum tidur selalu dilakukan bapak setiap malam ketika kami masih kecil. Bahkan ketika kami sudah duduk di SD pun bapak masih sering bercerita, terutama  tentang sejarah dan wayang.
Sejarah berdirinya Singasari tuntas diceritakan sejak Ken Arok memesan keris pada Empu Gandring, hingga terbunuhnya tujuh orang oleh keris bertuah tersebut.Â
Ketika itu saya duduk di kelas 4 SD, dan bapak bercerita detail namun dengan bahasa yang bisa kami mengerti.
Satu hal yang sangat saya ingat tentang bapak adalah kegemaran beliau membaca. Di sela kegiatannya bapak selalu membaca. Apa saja, entah koran, majalah, bahkan komik.
Kompas, Sinar Harapan, Suara Indonesia sering ada di meja ruang tamu. Bapak membelinya eceran. Kadang ada juga serial komik Si Buta dari Goa Hantu yang dipinjam dari persewaan komik tidak jauh dari rumah saya.
Gemar membaca membuat bapak tahu segalanya. Paling tidak itu pandangan saya saat itu. Bapak selalu bisa menjelaskan dengan gamblang apapun yang saya tanyakan. Membaca benar- benar membuat pintar, pikir saya.Â
Dari membeli koran eceran bapak beralih ke berlangganan Kompas. Datangnya setiap sore hari. Siapa pembacanya? Bapak tentu saja. Kami semua belum bisa membaca.
Bobo pada bapak. Ya, karena dia tahu ada tiga anak kecil di rumah. Tanpa berpikir panjang bapak langsung mengiyakan.Â
Suatu saat Mas yang mengantar koran menawarkan majalah"Lha anak-anak kan belum bisa baca?" Protes ibuk. Â
Bapak cuma tersenyum, "Gak apa-apa, biar mereka cepat bisa baca" jawab bapak.Â
Mulailah saat itu majalah Bobo setia mendatangi kami setiap Kamis sore. Karena belum bisa membaca, kami selalu menunggu bapak membacakan cerita, terutama cergamnya.
Dari cerita bapak kami mulai kenal dengan Bobo yang pintar dan sayang adik-adiknya, Coreng yang suka menggambar, Upik yang suka mainan bebek, Â Bibi Titi Teliti yang cerewet dan sangat perfeksionis juga Bibi Tutup Pintu yang tidak suka melihat pintu rumah terbuka.
Karakter yang muncul dari keluarga Bobo begitu khas dan terasa sangat akrab bagi kami. Bapak juga sering mengambil Bobo sebagai contoh saat memberikan nasehat pada kami.Â
Ketika kami tidak suka makan wortel, bapak mengatakan, "Kenapa Bobo tidak pakai kacamata? Karena dia suka makan wortel jadi matanya sehat."
Atau ketika kami malas gosok gigi, bapak berkata, "Gigi Bobo sangat putih meski cuma dua, kenapa? Karena dia rajin gosok gigi."
Akibatnya kami rajin makan sayur begitu juga gosok gigi, hehehe.
Tokoh yang lain juga membuat kami makin jatuh hati ialah Bona gajah kecil berbelalai panjang yang suka berkorban demi kebahagiaan teman-temannya. Rong-rong kucing putih yang jadi sahabat Bona. Nirmala yang baik hati, Oki yang usil, Juwita yang suka menolong dan Si Sirik yang selalu berhasil dikalahkan Juwita.
Kehadiran majalah Bobo menjadi sesuatu yang sangat kami tunggu-tunggu.
"Bobonya datang," suara ibuk yang memberitahu kami saat Bobo datang langsung membuyarkan konsentrasi bermain kami.Â
Kami segera berebut Bobo, membuka-buka untuk melihat gambarnya lalu membawanya ke bapak. Dengan senang hati bapak menghentikan kegiatannya lalu mulai bercerita.
Sesudah bercerita biasanya bapak membaca cerpen Bobo atau rubrik lain di majalah Bobo. Â
Saat seperti itu biasanya saya duduk di samping bapak dengan penuh rasa ingin tahu, berharap bapak mau bercerita tentang cerpen tersebut.
"Bagus ya Pak? " Tanya saya.Â
Bapak tersenyum, "Apik. Makanya pinter baca, biar tahu ceritanya," goda bapak.
Sungguh, sejak itu saya makin semangat belajar membaca. Hingga saat masih kelas nol saya sudah mulai bisa membaca. Â
Saya benar-benar ingin bisa membaca cerpen cerpen yang ada di Bobo seperti bapak.Â
Waktu terus berjalan kegemaran membaca saya kian menjadi. Seperti bapak saya suka membaca cerita fiksi dan sejarah. Kami sering terlibat pembicaraan tentang berbagai cerita yang habis kami baca.
Masuk SMP, buku yang saya baca semakin banyak. Buku-buku Enid Blyton, Tintin, Alfred Hitcock, Karl May, Kosasih dan banyak lagi.Â
Senangnya, bapak selalu ikut membaca buku-buku saya dan sesudahnya kami obrolkan bersama. Â
Biasanya yang menjadi bahan obrolan kami adalah pelajaran yang ada di dalam buku tersebut atau hal-hal yang lucu.
Kegemaran membaca akhirnya menurun juga pada anak- anak saya. Mungkin karena setiap hari mereka sering melihat ibuk atau bapaknya membaca.
Apa yang saya gunakan untuk lebih meningkatkan minat baca mereka? Bobo lagi! Majalah yang tetap menyimpan pesona. Kehadiran tokoh-tokoh baru di dalamnya seperti Dungdung,  Lobi lobi, G Jun membuat majalah ini semakin  mengikuti zaman.
Tidak ada hari tanpa bacaan. Selain Bobo buku apapun dilahap anak-anak. Tentunya saya tetap mengontrol bacaan mereka. Secara berkala kami ke perpustakaan kota atau persewaan komik untuk mencari buku yang kami inginkan.
Kebiasaan membaca terus dibawa anak-anak. Hingga ketika mereka kuliah di luar kota, saat pulang, di tas mereka selalu ada buku baru.
"Buat ibuk," katanya.
Seperti kebiasaan di masa kecil mereka, habis membaca buku bagus saya selalu diminta untuk membaca, dan lalu kami bicarakan bersama. Biasanya yang kami bicarakan adalah hal-hal yang unik dan menarik dari buku itu.
Ya, betapa sejarah kembali berulang seperti cerita saya dan bapak di masa lalu.
Akhirnya melalui bapak saya belajar bahwa menularkan kegemaran membaca bisa ditempuh dengan cara yang begitu sederhana, yaitu memberikan contoh dan ngobrol bersama.Â
Mungkin cara ini terlampau sederhana untuk diterapkan di masa sekarang di mana anak begitu akrab dengan gawainya. Namun setidaknya saya semakin memahami bahwa membaca tidak hanya membuat pengetahuan bertambah.
Dalam membaca dan saling bercerita ada kebahagiaan juga memperkuat ikatan emosi di antara kami bersama.
Salam Kompasiana.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H