"Ya Allah Mas, gak slamet aku kalau pacaran sama orang lain... Wes, kamu pulang ke istrimu sana. Aku biar sama anak-anak saja! " kata Rosi sambil mengambil wajan di lantai dan membawanya ke dapur. Gagang wajan memang patah, tapi hatinya jauh lebih patah.
Sejak saat itu Mardi tidak pernah datang lagi. Dan dalam waktu sekian bulan tiba-tiba keluar surat cerai. Entah bagaimana caranya. Yang jelas satu beban Rosi agak terkurangi. Ia tidak sering merasa ketakutan kalau sewaktu-waktu suaminya datang dan marah marah.
Dan sejak saat itu status janda resmi disandang Rosi.
Sudah bukan rahasia bahwa janda adalah status yang kurang menyenangkan. Apalagi janda cerai hidup seperti dirinya. Orang selalu beranggapan Rosi tak becus mengurus suami.
"Lihat, pulangnya sering malam.. Suami mana yang bisa sabar? " bisik-bisik sering merebak ke sana-sini.
Ah, orang-orang mana tahu setelah cerai suaminya tak pernah memberi nafkah, bahkan untuk anak-anaknya? Untuk tetap bertahan hidup kini Rosi harus menerima pesanan kue atau sesekali menerima tawaran menyanyi di hajatan manten.
Suaranya yang merdu mendayu terutama saat mendendangkan lagu-lagu campursari dan nostalgia membuatnya sering diundang sebagai pengisi acara hajatan manten di kampung, atau beberapa acara reuni.
Dari undangan itu ia bisa membawa pulang sejumlah uang dan hatinya juga senang. Ya karena menyanyi memang kegemarannya sejak dulu.
Rosi sudah berusaha menjaga penampilan juga aksinya di panggung. Namun status janda membuat godaan selalu ada. Terutama dari bapak-bapak yang merasa ge er karena sapaannya dibalas Rosi dengan ramah.
Kadang Rosi geli sekaligus jengkel menghadapi semua itu. Tingkah mereka benar-benar over acting. Mereka pikir pasti Rosi merindukan kehadiran seorang laki-laki dalam hidupnya.
Hh.., Sok tahu, pikir Rosi.
Hari semakin siang. Bertiga Rosi dan kedua anak perempuannya menata dos-dos berisi kue yang sebentar lagi akan diambil pengurus PKK. Sementara itu anak laki- lakinya belanja ke pasar untuk bahan kue esok hari.