Bergegas ia menuju dapur. Menghidupkan tiga kompor. Satu untuk roti kukus, dan putu ayu, dua untuk menggoreng donat.
Semua harus cepat, warung sudah menunggu, ditambah lagi nanti sore ada pesanan lima puluh kotak kue untuk acara PKK .
Menjadi pembuat kue dan menerima pesanan sudah dijalani Rosi sejak lama. Tepatnya sudah tujuh tahun, semenjak ia bercerai dari suaminya.
Cerai? Ya. Sebuah keputusan yang sangat tidak menyenangkan. Tapi siapa tahan hidup dengan suami yang 'ringan tangan'? Sedikit sedikit marah, main pukul atau jika tidak bisa memukul, piring, panci dan alat dapur menjadi sasaran kemarahannya.
Mula mula Rosi masih berusaha bertahan. Mengingat manisnya saat berpacaran dan awal pernikahan mereka. Tapi karena banting-membanting panci mulai sering dilakukan, Rosipun minta cerai.
Ia takut nanti akan merembet ke hal yang lain. Jangan-jangan sekarang panci yang dibanting, esok atau lusa dia atau anak-anaknya yang dibanting.
Proses perceraian berjalan alot. Ya, suaminya selalu mempersulit dengan alasan masih cinta.
Cinta? Sebenarnya Rosi juga masih punya. Apalagi jika ingat betapa lembutnya suaminya pada dirinya dulu.
Tapi semua itu berubah ketika suaminya punya wanita lain ditambah kondisi ekonomi yang saat itu menjadi kurang bagus.
"Wes Mas, daripada marah terus, sebal lihat aku dan anak-anak, ayo buyar saja..! " kata Rosi setengah menangis. Sedih sekali rasanya saat itu  melihat wajan teflon yang baru habis kreditannya dibanting hingga gagangnya patah.
Saat itu hanya karena masalah kecil Mardi suaminya membanting alat- alat dapur.
 Mendengar kata-kata Rosi wajah Mardi semakin merah.
"Kamu pasti sudah punya pria lain ya? " desisnya geram.
Kini Rosi yang naik pitam.