Hari masih gelap. Azan Subuh belum lagi bergema, namun kesibukan sudah mulai tampak di dapur sebuah rumah di ujung gang.
Rosi, wanita cantik di usia empat puluhan itu selalu mengawali harinya di pagi buta. Ketika semua tetangga masih terlelap dalam tidur, Rosi sudah sibuk membuat adonan donat , roti kukus dan putu ayu untuk dititipkan di warung-warung juga toko kue di pasar.
"Fifi, bangun, " katanya pada si sulung yang masih meringkuk di bawah selimut.
Seiring berkumandangnya azan Subuh, Rosi meninggalkan sejenak pekerjaannya, mengambil air wudhu dan membangunkan anak- anaknya.
Dua perempuan dan satu laki-laki. Ketiganya masih dalam usia sekolah.
"Ayo bangun-bangun... Subuh, subuh.. !" teriak Rosi sekali lagi sambil menutup pintu, dan berjalan menuju langgar sebelah rumahnya untuk subuhan.
***
"Monggo Bu Danu, Bu Tirto," kata Rosi berpamitan ketika mereka pulang dari langgar dan berpisah di tikungan jalan. Ketiganya masih bermukena sebagai antisipasi hawa pagi yang begitu dingin.
"Monggo Mbak Rosi, sampun mulai nguplek-nguplek, ta? " tanya Bu Danu.
"Lho... Ya harus Bu.. Kalau tidak nguplek-nguplek makan apa nanti..? " jawaban Rosi disambut tawa ibu-ibu yang lain.
"Jangan lupa kuenya untuk PKK nanti ya? " kata Bu RT.
"Siap Bu RT... Ini masih otw, " kata Rosi sambil tersrnyum. Otw yang dimaksud adalah masih dalam proses pembuatan.
Rosi membuka pintu rumahnya. Masih sepi.
"Ya Allah, Fifi, Doni, Lia bangun semua.., ibuknya dibantu, " teriaknya sekali lagi.
Bergegas ia menuju dapur. Menghidupkan tiga kompor. Satu untuk roti kukus, dan putu ayu, dua untuk menggoreng donat.
Semua harus cepat, warung sudah menunggu, ditambah lagi nanti sore ada pesanan lima puluh kotak kue untuk acara PKK .
Menjadi pembuat kue dan menerima pesanan sudah dijalani Rosi sejak lama. Tepatnya sudah tujuh tahun, semenjak ia bercerai dari suaminya.
Cerai? Ya. Sebuah keputusan yang sangat tidak menyenangkan. Tapi siapa tahan hidup dengan suami yang 'ringan tangan'? Sedikit sedikit marah, main pukul atau jika tidak bisa memukul, piring, panci dan alat dapur menjadi sasaran kemarahannya.
Mula mula Rosi masih berusaha bertahan. Mengingat manisnya saat berpacaran dan awal pernikahan mereka. Tapi karena banting-membanting panci mulai sering dilakukan, Rosipun minta cerai.
Ia takut nanti akan merembet ke hal yang lain. Jangan-jangan sekarang panci yang dibanting, esok atau lusa dia atau anak-anaknya yang dibanting.
Proses perceraian berjalan alot. Ya, suaminya selalu mempersulit dengan alasan masih cinta.
Cinta? Sebenarnya Rosi juga masih punya. Apalagi jika ingat betapa lembutnya suaminya pada dirinya dulu.
Tapi semua itu berubah ketika suaminya punya wanita lain ditambah kondisi ekonomi yang saat itu menjadi kurang bagus.
"Wes Mas, daripada marah terus, sebal lihat aku dan anak-anak, ayo buyar saja..! " kata Rosi setengah menangis. Sedih sekali rasanya saat itu  melihat wajan teflon yang baru habis kreditannya dibanting hingga gagangnya patah.
Saat itu hanya karena masalah kecil Mardi suaminya membanting alat- alat dapur.
 Mendengar kata-kata Rosi wajah Mardi semakin merah.
"Kamu pasti sudah punya pria lain ya? " desisnya geram.
Kini Rosi yang naik pitam.
 "Ya Allah Mas, gak slamet aku kalau pacaran sama orang lain... Wes, kamu pulang ke istrimu sana. Aku biar sama anak-anak saja! " kata Rosi sambil mengambil wajan di lantai dan membawanya ke dapur. Gagang wajan memang patah, tapi hatinya jauh lebih patah.
Sejak saat itu Mardi tidak pernah datang lagi. Dan dalam waktu sekian bulan tiba-tiba keluar surat cerai. Entah bagaimana caranya. Yang jelas satu beban Rosi agak terkurangi. Ia tidak sering merasa ketakutan kalau sewaktu-waktu suaminya datang dan marah marah.
Dan sejak saat itu status janda resmi disandang Rosi.
Sudah bukan rahasia bahwa janda adalah status yang kurang menyenangkan. Apalagi janda cerai hidup seperti dirinya. Orang selalu beranggapan Rosi tak becus mengurus suami.
"Lihat, pulangnya sering malam.. Suami mana yang bisa sabar? " bisik-bisik sering merebak ke sana-sini.
Ah, orang-orang mana tahu setelah cerai suaminya tak pernah memberi nafkah, bahkan untuk anak-anaknya? Untuk tetap bertahan hidup kini Rosi harus menerima pesanan kue atau sesekali menerima tawaran menyanyi di hajatan manten.
Suaranya yang merdu mendayu terutama saat mendendangkan lagu-lagu campursari dan nostalgia membuatnya sering diundang sebagai pengisi acara hajatan manten di kampung, atau beberapa acara reuni.
Dari undangan itu ia bisa membawa pulang sejumlah uang dan hatinya juga senang. Ya karena menyanyi memang kegemarannya sejak dulu.
Rosi sudah berusaha menjaga penampilan juga aksinya di panggung. Namun status janda membuat godaan selalu ada. Terutama dari bapak-bapak yang merasa ge er karena sapaannya dibalas Rosi dengan ramah.
Kadang Rosi geli sekaligus jengkel menghadapi semua itu. Tingkah mereka benar-benar over acting. Mereka pikir pasti Rosi merindukan kehadiran seorang laki-laki dalam hidupnya.
Hh.., Sok tahu, pikir Rosi.
Hari semakin siang. Bertiga Rosi dan kedua anak perempuannya menata dos-dos berisi kue yang sebentar lagi akan diambil pengurus PKK. Sementara itu anak laki- lakinya belanja ke pasar untuk bahan kue esok hari.
"Fifi, nanti kalau Bu Danu datang, dosnya kamu bantu angkat ya.. Ibu mau tidur sebentar, " kata Rosi. Matanya begitu lelah.
 "Iya Buk, istirahat saja, " kata Fifi sambil meneruskan pekerjaannya.
Jam empat sore suasana balai RW demikian ramai. Ibu-ibu dengan wajah cerah sudah memenuhi ruangan. Rosi sudah stand by dekat konsumsi membantu ibu-ibu pengurus PKK yang lain.
Kelelahan sudah tak membekas di wajahnya. Rupanya tidur siang sebentar tadi membuat penampilannya kembali segar.
Hari ini PKK mengundang narasumber dari luar yang akan membahas masalah dengan topik menjaga keutuhan rumah tangga. Narasumber sengaja dipilih sesama perempuan, supaya akrab.
Sang narasumber kali ini membuat pertemuan terasa demikian gayeng. Ya, celetukannya sering lucu sehingga mengundang tawa.
"Ibu-ibu, jaga suami baik-baik. Perlakukan dengan baik, sabar.. kalau ibu-ibu tidak bisa baik sama suami, suami ibu akan sering ngopi di tempat lain. Katut janda yang jualan kopi di warung depan., "
Serempak ibu-ibu tertawa. Bercanda. Janda di warung depan memang tak pernah ada. Tapi cukup sebagai gambaran bahwa godaan bagi para suami ada di mana mana.
"Waduuh, bahaya itu..! " sebuah celetukan membuat tawa makin riuh. Semua yang hadir tertawa. Apalagi ditimpali candaan Mbak Pras, yang kadang-kadang agak kurang senonoh.
Tawa dan canda semakin ramai.Â
Akan halnya Rosi, tiba- tiba ia merasa demikian terasing. Ada yang terasa sakit dalam hatinya. Ternyata status janda yang disandangnya tidak hanya sering dianggap sebelah mata oleh para laki-laki. Tapi juga oleh para perempuan, kaumnya sendiri.
***
Cerpen ini dibuat setelah saya membaca tulisan kompasianer Luna Sepatalisa yang berjudul [Refleksi Hari Perempuan Internasional 2022]: Mendobrak Stigma Janda.
Sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa stigma negatif terhadap janda tidak hanya dilakukan laki-laki tapi juga oleh sesama perempuan sendiri.
Arti istilah:
nguplek-nguplek : bekerja / mengerjakan sesuatu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H