Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Waktu yang Akan Menghapus Segala Duka Itu

22 Agustus 2021   14:23 Diperbarui: 22 Agustus 2021   14:32 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melati, Sumber gambar : kiprisdpr.com

Pagi merekah dengan senyumnya yang paling hangat.  Menik membuka jendela kamarnya.  Dua bunga melati tersenyum dan sesekali mengangguk diterpa sejuknya angin pagi.  Pada kelopaknya ada sisa tetes embun yang jatuh semalam. 

Selamat pagi melati, bisik Menik lirih.  Ada sedikit genangan di matanya.  Melati selalu mengingatkannya pada seseorang.  Seseorang yang begitu dekat dan sayang padanya.

Ingatan Menik tiba-tiba terlempar ke masa lalu. Seorang gadis kecil berkuncir dua yang setiap pagi selalu diajak berjalan-jalan oleh bapaknya.

Tiap pagi berdua mereka menyusuri jalan itu.  Jalan menurun di depan bangunan SD yang kiri kanannya penuh dengan daun paitan.  Ya,  tiap pagi.

 Bapak selalu mengerti Menik banyak bertanya dan tidak mau diam,  karena itu  Bapak mengajaknya jalan-jalan supaya ibuk bisa mengurusi adiknya yang jauh lebih kecil.

"Mengapa dinamakan paitan,  Pak?" tanya Menik kecil.  Bapak tersenyum.

"Karena rasanya pahit, " terangnya.

"Kenapa pahit?" tanya Menik lagi. Matanya menatap bapak penuh rasa ingin tahu.

" Karena mengandung obat, " mungkin bapak menjawab sekenanya saat itu.  Bukankah tidak semua tanaman obat terasa pahit? 

Hanya sekedar supaya pertanyaan Menik berhenti.

"Obat apa? " tanya Menik lagi.

"Hmmm....,  malaria, " jawab bapak sambil merapikan rambut Menik yang riap riap tersapu angin. 

"Malaria itu apa? " tanya Menik lagi.  Bapak menatap putrinya gemas. Segera diangkatnya Menik. 

"Malaria itu...  Sakit karena digigit nyamuk, " kata bapak sambil mencubit paha Menik.  Yang dicubit terpekik dan akhirnya tertawa tawa.

Di belokan persis berdiri rumah mbah.  Rumah mbah yang kokoh khas rumah kuno dengan bagian depannya penuh tanaman melati.  Tanaman melati dengan bunga bunga kecilnya yang berwarna putih dan harum selalu membuat bapak berhenti sebentar.  Bapak memetik beberapa kuntum lalu dua disematkan di telinga kiri dan kanan Menik.

"Cantik.., " kata bapak sambil mencium putrinya. 

Biasanya mereka akan mampir sebentar,  ngobrol dengan mbah lalu pulang. 

Ritual memetik melati bersama baru berhenti ketika Menik sudah masuk SD.  Malu,  rumah mbah di dekat SD, pastinya banyak juga teman Menik yang tinggal di sekitarnya.

Kebiasaan bapak berganti dengan meletakkan beberapa kuntum melati di meja belajar Menik.

Entah kenapa bapak selalu suka dengan bau melati. Sampai teh yang disajikan ibuk di rumahpun selalu beraroma melati.

Ketika Menik harus kuliah di luar kota kadang ada rindu pada aroma bunga melati yang selalu ada di meja belajar.  Aroma melati selalu mengingatkannya pada Bapak.  Bapak yang sabar,  yang tidak pernah marah atau mencela keinginannya. 

Saat memilih jurusan pun bapak tidak pernah ikut campur.  Bapak hanya mengarahkan,  masuk jurusan yang kamu sukai,  belajar sebaik-baiknya,  bertanggung jawab atas pilihanmu.  Insya Allah Tuhan akan memberikan jalan terbaik untukmu.  Itu pesan bapak yang begitu diingat Menik. 

Tahun demi tahun berlalu.Hingga akhirnya tiba saat wisuda. Bapak,  Ibuk dan adik datang ke Jogja. 

Barangkali itu wisuda terakhir di masa sebelum pandemi. Beberapa bulan sesudahnya pandemi mulai merambah negeri dan Menik diminta segera pulang.  Beberapa teman Menik berstatus ODP bahkan PDP. 

Satu dampak pandemi adalah bisa berkumpul kembali dengan orang orang tercinta di rumah. Keakraban terjalin kembali,  apalagi bapak dan ibuk harus wfh. Juga adiknya yang duduk di SMA.

Kemurahan Tuhan menyatukan kembali keluarga kecil itu dalam kehangatan.

Manusia terus berjalan dengan takdirnya tanpa mengetahui rencana apa yang dibuat oleh Sang Maha Segalanya.  Tiba-tiba saja sore itu penyakit jantung bapak kambuh. Sebenarnya sudah beberapa hari bapak mengeluh masuk angin.  Tapi selalu diabaikan tiap diajak periksa ke dokter.  "Tidak usah,  dikerok i saja Nduk, " kata bapak pada Menik. 

Akhirnya sore itu Menik. ibuk dan adiknya membawa bapak ke UGD.  Tapi apalah daya, manusia boleh berusaha tapi Tuhan yang punya segalanya. 

Dalam perjalanan bapak tiada.  Semua begitu cepat.  Tidak ada firasat apa-apa sebelumnya,  bahkan tadi pagi mereka:Menik,  Ibuk dan Bapak masih menggoda adik yang rupanya mulai jatuh hati pada teman sekolahnya.

Dunia Menik seakan runtuh.  Bertiga mereka berdiri di depan pusara setelah saudara dan para pelayat pergi.  Menik merasakan tiupan angin begitu dingin. Gemerisik daun yang tertiup angin menambah suasana terasa sendu.  Mereka mempererat pelukan. 

Masih terngiang ucapan para pelayat.  Sabar ya...,

Yang kuat ya...,

Kamu anak pertama,  harus bisa menguatkan adikmu..,

Menik cuma mengangguk. Ah,  sabar,  kuat,  betapa mudah diucapkan.

Menik menatap ibuk.  Dari matanya yang kosong Menik merasakan kesedihan yang begitu dalam. Digenggamnya tangan ibuk erat erat dan pelan mereka bertiga meninggalkan komplek makam yang mulai sepi.

Serasa baru kemarin peristiwa itu terjadi.  Tak terasa sudah sebulan berselang.  Tapi Menik selalu bisa mengingat semua detail kejadian sampai sekecil- kecilnya.  Benar kata orang, bahwa otak kita lebih mudah merekam kejadian yang kurang menyenangkan daripada yang menyenangkan. 

Seseorang mengetuk pintu kamarnya. 

"Mbak Menik, masih tidur? " rupanya Titis adiknya. 

"Masuk Tis.." kata Menik sambil membukakan pintu. 

Titis masuk sambil membawa dua cangkir teh hangat.  Aroma melati menguar.  Sesaat leher Menik serasa tercekat. 

"Minum, Mbak, " ajak Titis sambil tersenyum.  Menik menatap adiknya.  Baru Menik sadar bahwa Titis sekarang agak kurus. Gurat kesedihan masih tampak di wajahnya.  Pipinya yang biasanya berisi kini agak berkurang sehingga wajahnya jadi lebih tirus. 

"Ibuk masih tidur ya? " tanya Menik.

"Ada di dapur, " jawab Titis sambil menyeruput tehnya.

Menik melakukan hal yang sama.  Wangi teh melati tiba -tiba saja membuat rasa haru dalam hatinya kian menjadi.  Apalagi melihat Titis yang beberapa hari ini seolah tak dihiraukannya.  Menik begitu sibuk dengan kesedihannya akhir-akhir ini. 

Dalam kehangatan dan aroma melati bapak seolah hadir.  Seolah mengingatkan Menik untuk tidak terus tenggelam dalam kesedihannya.  Ya,  adik, ibunya juga merasakan kesedihan yang sama.  Menik tersedu.

"Mbak? " bisik Titis.

Menik segera meraih adiknya dalam pelukan.  Titis melakukan hal yang sama.  Keduanya meneteskan air mata untuk sebuah alasan yang sama. 

Sungguh,  waktu yang perlahan akan menghapus segala duka itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun