Menik cuma mengangguk. Ah, Â sabar, Â kuat, Â betapa mudah diucapkan.
Menik menatap ibuk. Â Dari matanya yang kosong Menik merasakan kesedihan yang begitu dalam. Digenggamnya tangan ibuk erat erat dan pelan mereka bertiga meninggalkan komplek makam yang mulai sepi.
Serasa baru kemarin peristiwa itu terjadi. Â Tak terasa sudah sebulan berselang. Â Tapi Menik selalu bisa mengingat semua detail kejadian sampai sekecil- kecilnya. Â Benar kata orang, bahwa otak kita lebih mudah merekam kejadian yang kurang menyenangkan daripada yang menyenangkan.Â
Seseorang mengetuk pintu kamarnya.Â
"Mbak Menik, masih tidur? " rupanya Titis adiknya.Â
"Masuk Tis.." kata Menik sambil membukakan pintu.Â
Titis masuk sambil membawa dua cangkir teh hangat. Â Aroma melati menguar. Â Sesaat leher Menik serasa tercekat.Â
"Minum, Mbak, " ajak Titis sambil tersenyum. Â Menik menatap adiknya. Â Baru Menik sadar bahwa Titis sekarang agak kurus. Gurat kesedihan masih tampak di wajahnya. Â Pipinya yang biasanya berisi kini agak berkurang sehingga wajahnya jadi lebih tirus.Â
"Ibuk masih tidur ya? " tanya Menik.
"Ada di dapur, " jawab Titis sambil menyeruput tehnya.
Menik melakukan hal yang sama. Â Wangi teh melati tiba -tiba saja membuat rasa haru dalam hatinya kian menjadi. Â Apalagi melihat Titis yang beberapa hari ini seolah tak dihiraukannya. Â Menik begitu sibuk dengan kesedihannya akhir-akhir ini.Â