"Hmmm...., Â malaria, " jawab bapak sambil merapikan rambut Menik yang riap riap tersapu angin.Â
"Malaria itu apa? " tanya Menik lagi. Â Bapak menatap putrinya gemas. Segera diangkatnya Menik.Â
"Malaria itu... Â Sakit karena digigit nyamuk, " kata bapak sambil mencubit paha Menik. Â Yang dicubit terpekik dan akhirnya tertawa tawa.
Di belokan persis berdiri rumah mbah. Â Rumah mbah yang kokoh khas rumah kuno dengan bagian depannya penuh tanaman melati. Â Tanaman melati dengan bunga bunga kecilnya yang berwarna putih dan harum selalu membuat bapak berhenti sebentar. Â Bapak memetik beberapa kuntum lalu dua disematkan di telinga kiri dan kanan Menik.
"Cantik.., " kata bapak sambil mencium putrinya.Â
Biasanya mereka akan mampir sebentar, Â ngobrol dengan mbah lalu pulang.Â
Ritual memetik melati bersama baru berhenti ketika Menik sudah masuk SD. Â Malu, Â rumah mbah di dekat SD, pastinya banyak juga teman Menik yang tinggal di sekitarnya.
Kebiasaan bapak berganti dengan meletakkan beberapa kuntum melati di meja belajar Menik.
Entah kenapa bapak selalu suka dengan bau melati. Sampai teh yang disajikan ibuk di rumahpun selalu beraroma melati.
Ketika Menik harus kuliah di luar kota kadang ada rindu pada aroma bunga melati yang selalu ada di meja belajar. Â Aroma melati selalu mengingatkannya pada Bapak. Â Bapak yang sabar, Â yang tidak pernah marah atau mencela keinginannya.Â
Saat memilih jurusan pun bapak tidak pernah ikut campur. Â Bapak hanya mengarahkan, Â masuk jurusan yang kamu sukai, Â belajar sebaik-baiknya, Â bertanggung jawab atas pilihanmu. Â Insya Allah Tuhan akan memberikan jalan terbaik untukmu. Â Itu pesan bapak yang begitu diingat Menik.Â