Photo.net
Harumnya aroma kue yang dipanggang memenuhi ruangan. Â Bu Sabri sedang mencetak kue semprit bermotif mawar dengan bagian tengah diberi bulatan choco chips. Â Kue yang lezat dan cantik favorit anaknya. Â Ya, Â Dodit beberapa hari lagi akan datang.
Dodit adalah anak semata wayangnya. Sudah dua tahun ini bekerja di luar kota. Hanya sebulan sekali ia bisa pulang. Â Itupun hanya sehari atau paling lama dua hari. Â Seandainya bukan pandemi mungkin ia bisa pulang seminggu sekali.Â
Pulang saat lebaran adalah sesuatu yang istimewa. Â Dodit pernah merasakan lebaran di kota lain. Â Tugas yang mengharuskannya demikian, dan itu sungguh menyiksa hatinya. Â Yang paling menjadi beban pikirannya adalah ibunya yang merayakan lebaran sendirian di kampung. Â Meski Bu Sabri sudah mengatakan tidak apa apa, tak urung tetap membuat Dodit sedih.
***
"Jadi kupatan ya Bu? " tanya Menik pembantu setia Bu Sabri.
"Ya jadilah Nik, Lebaran nanti  Dodit akan pulang.  Biar seneng anaknya.."
"Kupat, Â opor, sambal goreng manisa, pakai telor bumbu petis? " tanya Menik lagi
Bu Sabri tersenyum. Â " Iya Nik, jangan sampai tidak pakai telor bumbu petis... Â Masakan telor bumbu petismu enak.., Â pas sedapnya, " tambah Bu Sabri menirukan sebuah kalimat iklan.
Menik serasa melambung dipuji seperti itu. Â Hanya Bu Sabri dan Mamat anaknya yang suka memuji masakannya. Â Dulu Badrun suaminya juga. Â Tapi sejak tergoda wanita lain suaminya tak pernah lagi memuji-muji masakannya. Jangankan memuji, Â pulang ke rumah saja tidak pernah.Â
"Saya belanja dulu ya Bu? " kata Menik sambil membawa anting.Â
"Iya Nik, hati-hati ya, " jawab Bu Sabri sambil mulai menata kue kering dalam stoples.
***
Sehari menjelang lebaran.
Bu Sabri termenung di kursi dekat jendela ruang tengah. Â Meja tengah sudah diberi taplak baru. Â Di atasnya ada kue lebaran tiga toples. Â Satu berisi nastar, Â satunya kastengels dan yang lain semprit dengan choco chips. Â Di sebelahnya cangkir dan teko menambah semarak suasana meja makan. Â Menik memang pintar dan cekatan. Â Semua sudah tertata rapi demi menyambut datangnya lebaran.
Suasana begitu sepi. Suara jam dinding tua membuat hati semakin nglangut. Â Bu Sabri menghela nafas panjang. Burung-burung kecil yang berlompatan di dahan pohon mangga tak mampu mengusir kegalauan hatinya. Masih terngiang percakapannya dengan Dodit siang tadi.
"Bu, Â ternyata aku tidak bisa pulang, " kata Dodit sedih.
"Lha kenapa, Â Le? Tidak boleh mudik ya?" tanya Bu Sabri sedikit kecewa. Â Sebenarnya larangan mudik sudah ada beberapa hari yang lalu. Â Tapi seperti tahun lalu Dodit bisa bersepeda motor lewat jalan tikus.
"Agak ketat Bu.. Â Tadi lewat jalan tikus juga tak bisa. Kami dipaksa putar balik, padahal tahun kemarin aman-aman saja.. "
Terasa sekali ada kesedihan dalam suara Dodit.
"Ya gak apa apa.. Â Belum waktunya pulang. Â Manut saja Le.., " kata Bu Sabri sabar. Kecewa? Â Tentu saja. Tapi Dodit tak boleh tahu itu.
***
"Telornya sekilo dimasak semua, Bu? " Menik tiba tiba memecahkan lamunan Bu Sabri.
"Setengah saja Nik, Â jangan banyak-banyak, " jawab Bu Sabri tak bersemangat.
Menik menatap Bu Sabri agak lama.
"Nuwun sewu, Â Ibu kelihatan sedih? "
"Dodit tidak jadi pulang, Â penjagaan ketat, Â Nik, "
"Ooh, Â " Menik mengangguk faham. Dodit anak Bu Sabri satu-satunya, Â tentunya ketidak datangannya sangat membuat kecewa.
"Kondisi belum aman ya Bu, Â takut coronanya naik lagi, " tambah Menik pelan.
Sosok anak kecil tiba-tiba masuk ruangan. Tubuhnya yang gendut langsung menggelendot manja di pangkuan Menik. Ia adalah Mamat anak Menik satu-satunya.
"Buk e... Â Aku puasa bedug boleh? " pintanya. Â Menik tersenyum.
" Boleh, Â masih kurang satu jam le.., Â sudah mainan bongkar pasang sana.. "
Mamat berlari menuju mainannya sambil tersenyum lega.
Bu Sabri menatap adegan itu sambil tersenyum. Ingat Dodit di masa kecil.
"Kamu juga tidak mudik Nik? "tanya Bu Sabri.
"Tidak Bu, Â simbok sudah saya kirimi kerudung dan mukena. "
"Katanya kalau ngotot pulang, Â nanti diisolasi dulu di balai RW. Â Tambah ruwet urusannya, " lanjut Menik.
Tiba tiba sesuatu terlintas dalam benak Bu Sabri.
"Nik, Â hari ini kamu bisa paketkan kue-kue ini ke Dodit? "
"Nggih Bu, bisa, " jawab Menik cepat.
Bu Sabri tersenyum lega.
"Besok habis sholat id kamu ke sini saja. Â Kita berlebaran bersama. Â Ajak Si Mamat. Â Di rumahmu tak ada orang kan? " lanjut Bu Sabri.
Menik tersenyum senang. Â "Inggih Bu, siap, kalau mau sholat id bareng besok saya jemput, " katanya bersemangat.
Bu Sabri tersenyum senang mendengar jawaban Menik.Â
Bergegas Bu Sabri mencari dos untuk memasukkan beberapa toples kue buat dipaketkan ke Dodit. Â Semprit dengan choco chips, Â harus ada itu. Ditambah dengan masing-masing satu toples nastar dan kastengel.
Bau opor menguar dari dapur ditingkahi suara penggorengan yang begitu sibuk. Bu Sabri tersenyum membayangkan Menik yang mengaduk sambal goreng kentang sambil sesekali melihat anaknya yang sedang bermain bongkar pasang. Pelan namun pasti rasa kecewanya mulai sirna.
Ternyata bahagia itu ada di mana-mana. Â Ia begitu dekat dengan kita, namun sering kita tidak menyadarinya.
Arti istilah:
Anting : tas untuk belanja
Inggih : iya
Nglangut : sedih
Nuwun sewu : permisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H