Berbicara mengenai Ramadhan di masa kecil  tentunya ada banyak cerita.  Apalagi saya hidup di kampung.  Penuh keseruan dan kehangatan yang berisi kenakalan dan keisengan khas anak-anak.  Ramainya takjil bersama,  tadarus,  patrol,  menunggu blanggur,  semua menyimpan kenangan yang begitu manis.
Dalam pertemanan selalu ada teman yang istimewa.  Entah karena kebaikannya,  kerajinannya bahkan kenakakalan atau keisengannya.  Kali ini saya akan menceritakan  satu teman saya. Ramadhan telah merubahnya menjadi lebih pendiam dan penurut. Terutama kepada kedua orang tuanya.
Yanto namanya. Â Teman-teman lebih suka memanggilnya Yayan. Â Teman yang satu ini sangat istimewa. Â Begitu banyak ide di kepalanya. Â Ide untuk usil tentu saja. Â Pernah Yayan mengajak teman-temannya melempari pohon mangga Pak Marno yang buahnya bergelantungan dan menggoda, Â pernah juga ia naik sendiri ke atas pohon rambutan dan akhirnya badannya bentol bentol digigit semut. Â Ada saja idenya.Â
Dilabrak orang atau diingatkan Pak RT bagi orang tuanya seperti hal biasa.  Bapak dan ibunya  hanya bisa istighfar melihat tingkah anaknya.  Namun suatu saat Yayan menerima akibat dari kebengalannya.
Cerita ini terjadi di bulan Ramadhan. Â Satu aktivitas anak laki-laki seusia kelas 5 -6 SD adalah patrol. Â Patrol seolah sesuatu yang wajib dilakukan untuk mengecek keberanian dan kekuatan anak-anak saat itu. Â Keberanian? Â Tentu saja karena kita harus keluar rumah pukul setengah tiga. Â Saat itu rumah masih tidak sepadat sekarang. Â Banyak tanaman dan semak-semak yang agak menyeramkan di malam hari.
Kekuatan?  Ya,  harus kuat menahan kantuk, karena saat Ramadhan justru anak-anak tidur agak malam.  Menunggu selesai darusan.  Tahu tidak,  kue untuk darusan biasanya lebih enak daripada kue takjil.  Jadi saat takjilan baru datang,  anak-anak yang agak besar memilih kue -kue yang enak untuk konsumsi yang darusan.  Hmmm,  ini yang membuat anak-anak kecil  agak cemburu dan sabar mengikuti darusan meski dengan bacaan yang kurang lancar.Â
Malam itu seperti biasanya Yayan mengajak teman-temannya tidur di langgar. Â Tidur di langgar adalah cara aman supaya nanti bisa patrol. Â Tidak perlu membangunkan ke rumah-rumah. Â Oh ya, Â zaman itu belum ada hp. Â jadi kalau membangunkan untuk patrol harus teriak-teriak. Â Kadang teman yang dibangunkan tidak keluar, Â tapi bapaknya yang marah-marah. Bising.
"Habis patrol langsung pulang, Â Le, " kata ibuk mengingatkan.Â
"Iya Buk, " jawab Yayan seraya berlari menuju langgar.
Sebenarnya ibuk Yayan sudah berkali kali mengingatkan supaya ia tidak sering patrol. Â Jaga kondisi, angin malam tidak bagus untuk kesehatan, Â kata ibuk. Tapi begitulah Yayan. Â Bandel, Â dan jarang mendengarkan nasehat orang tua.
Di langgar anak-anak yang lainsudah menunggu. Â Seperti biasa mereka main krubut-krubutan sarung. Â Dari belakang sarung ditutupkan ke kepala seorang teman dan dia harus menebak siapa yang menutupkan sarung itu.
Mengenai permainan itu anak-anak pernah dimarahi marbot gara gara Gito sampai megap-megap ketika kepalanya ditutupi sarung. Â Mungkin dia tidak tahan dengan bau apek sarung itu.
Ketika jam hampir mununjukkan pukul 11 permainan diakhiri.
"Ayo turu.. turu..! " teriak Pak Marbot.
Bergegas anak anakpun tidur di serambi samping langgar.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Anak-anak sudah bersiap dengan alat patrolnya. Â berupa bambu yang dilubangi tengahnya. Â Yang tidak punya , membawa kaleng bekas dan pemukul. Â Seperti biasa Yayan berdiri paling depan. Sarung diselempangkan dengan peci yang selalu ada di kepala. Â Mirip tokoh Si Unyil dalam televisi.
"Siap? Â Go! " katanya gagah.
Musikpun berkumandang. Â Sebisanya, seadanya. Â Lagunya? Â Bang Haji Oma Irama pasti!
 Begadang jangan begadaaang
Kalau tiada artinyaa
Begadang boleh sajaaaa
Kalau ada perlunya
Sesekali ditimpali dengan teriakan sahuuur sahuuur... Ketika dilihat orang dari dalam rumah mereka menambah dengan goyangan pinggul. Â Asiiik.
Tak terasa perjalanan semakin jauh. Â Waktupun merambat demikian cepat. Patrol terus merambah ke kampung seberang. Â Ketika tarhim mulai berbunyi Gito langsung mengingatkan. Â "Ayo pulang, Â sahur! "
Tarhim menunjukkan saat imsak kurang 20 menit lagi.
"Kurang satu lagu..," kata Yayan. Tengah asyik dengan goyangannya tiba-tiba terdengar suara dari langgar, Â "Imsak kurang lima menit..,"
"Mati aku, belum sahur! " Â teriak Yayan. Â Tanpa ba bi bu mereka bubar. Â Waduh..,posisi agak jauh dari rumah pula. Merekapun lari sekencang-kencangnya.
Yayan segera menuju pintu belakang rumah. Â "Buuk, Â Ibuuk.., " teriaknya. Â Suara qiroah berkumandang merdu di langgar menggantikan tarhim. Â Ibuk membuka pintu, Â dan Yayan segera menerobos masuk.
"Astaghfirullah, Â Yayaan... "
Tanpa menjawab Yayan segera mengambil air putih yang disiapkan ibuknya di meja. Â Nafasnya begitu terengah-engah. Â Segera diminumnya air putih.
Ketika ia membuka tudung saji, sepiring nasi, Â ayam goreng dan sedikit sambal tersaji manis di sana. Â Yayan tersenyum, namun senyumannya sontak berubah ketika speaker langgar mengumandangkan azan subuh.
 "Allahu akbar Allahu akbar..! "
 Yayan terkulai lemas.  Tiba -tiba saja perutnya terasa begitu lapar.
 "Lho... Tidak sahur ya..!" kata ibuk prihatin.
 Yayan menatap ibuk dengan mata berkaca-kaca.
 "Gak apa apa le,  kalau tidak kuat mokel..,  Ayo subuhan.., "
 Yayan mengikuti langkah ibuk dari belakang.  Kini air mata benar- benar menetes di pipinya bercampur dengan sisa air wudhu yang mulai mengering.
Sejak itu Yayan berubah  menjadi anak yang lebih pendiam dan penurut daripada biasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H