Mentari beranjak pergi ketika surau di dekat kami mengumandangkan azan maghrib. Â Kimi yang tadinya bermain di halaman segera masuk rumah dan tak lama lagi kami akan mendengar suaranya yang cadel sedang belajar mengaji atau menyanyi bersama ayahnya.
 Ketika malam semakin pekat , sedap malam mulai menebarkan aromanya.  Setiap orang yang lewat depan rumah pasti berhenti sejenak untuk mencari asal sumber bau harum.  "Ooh bunga itu...,"  kata beberapa orang sambil tersenyum ke arah sedap malam.
 Tiba-tiba terdengar Mawar berkali-kali berbangkis.Â
 " Kenapa Mawar?  " tanya Bougenville yang berdiri di dekatnya.  "Aku tidak suka bau ini! "kata Mawar kasar.  Kami begitu terkejut.  Tidak satupun dari kami pernah berucap seperti itu, meski kadang aroma Sedap Malam terasa agak menyeramkan.
 "Bau yang sangat mistis,  cenderung menakutkan, mau muntah rasanya! "tambah Mawar sinis..
 Sedap Malam tertunduk sedih.Â
 "Jangan begitu,  Mawar, teman kita punya bawaan masing-masing..,  " kata Flamboyan pada Mawar. Kami benar-benar marah melihat sikap Mawar yang semakin hari semakin menjadi.Â
 "Aku tidak peduli ,dan tolong jangan terlalu mengumbar baumu!" hardik Mawar pada Sedap Malam.  Sedap Malam menitikkan air mata.Â
 "Jaga bicaramu Mawar!  Kita harus saling menghargai di sini, jangan sombong! " timpal Desember.
 "Diamlah!  Tidak layak kau bicara seperti itu padaku!  Penampilanmu tidak ada apa-apanya dibanding diriku!" kata Mawar marah.  Desember tertunduk. Ya, di bulan seperti ini ia tidak punya bunga sama sekali. Hawa yang gerah karena mendung sejak tadi sore semakin terasa gerah oleh perseteruan di antara kami.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba hujan turun begitu deras.