Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beat Merah Tetanggaku

24 Januari 2021   09:39 Diperbarui: 24 Januari 2021   17:05 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas Otomotif

Tidak seperti biasanya malam ini gang rumahku ramai.  Biasanya di atas pukul delapan malam rumah-rumah sudah tutup , semua asyik dengan keluarga masing-masing.  Malam ini para tetangga pada keluar. 

Pak Seto,  yang tinggal dua rumah dari tempatku tiba-tiba kehilangan sepeda motornya.  Beat merah baru kredit kira-kira satu bulan. 

Tampak Pak Seto demikian terpukul.  Sepeda itu tiap hari dipakai mengantarkan cucunya sekolah.

"Lupa mengunci ya,  Pak? " tanya Bu Pandri

Pak Seto menggeleng.

"Tidak,  Bu, selalu saya kunci dobel,  yah,  mungkin apes bu.., " katanya sedih.

"Oalah,  Pak,  mudah-mudahan malingnya insyaf lalu dikembalikan..,  banyak berdoa,  Pak,  " kata Bu Asih.

"Hhh,  maling mana bisa insyaf Bu?  Jaman susah seperti ini? " sergah Pak RT

"Bapak,  Ibu,  kita tingkatkan kewaspadaan kita ya...,  kelihatannya curanmor mulai merajalela. Palang di depan gang mulai kita aktifkan lagi penutupannya.  Yang ada perlu mendesak hingga harus keluar malam hari,  lapor biar dibukakan, " kata Pak RT.

Di gang masuk RT kami memang ada palang yang ditutup tiap hari mulai jam 20.00 malam sampai jam 04.00 pagi. Sayang sekali palang itu lama tidak difungsikan.  Biasalah,  kalau sudah ada kejadian baru muncul yang namanya kesadaran.

Kami mengangguk setuju mendengar nasehat Pak RT.  Tak lama kemudian satu demi satu kami  bubar sambil memberikan satu dua patah kata pada pak Seto supaya sabar, dan mudah-mudahan mendapat rezeki lain sebagai pengganti.  Pak Seto bersalaman dan berterima kasih pada para tetangga yang menyampaikan keprihatinannya.

Tinggal aku berdua dengan Pak Seto. Aku agak bingung mau bicara apa.  Sebenarnya hampir tiap malam aku menemani beliau ngobrol.  Pak Seto tinggal hanya berdua bersama cucunya yang sudah sekolah SMP.  Bu Seto sudah lama meninggal sementara keempat anaknya sukses 'jadi orang' semua. Bisa dikatakan Pak Seto hidup berkecukupan dari kiriman anak anaknya.  Malam hari saat cucunya belajar biasanya Pak Seto memerlukan teman sehingga mengajakku ngobrol di rumahnya.

Pak Seto suka bercerita tentang perjuangannya di masa susah bersama istri dan keempat anaknya.  Aku selalu menjadi pendengar yang baik karena memang kegigihan beliau untuk meraih sukses sangat membuatku tertarik.

Saat ngobrol, Pak Seto selalu menyiapkan satu pak rokok kegemaranku, yang sesudahnya boleh kubawa pulang karena beliau sendiri tidak merokok. Ini yang paling kusuka. Hitung-hitung mengurangi pengeluaran sehari-hari sehingga aku terhindar dari kecerewetan isteriku karena uang belanjanya kukurangi.

"Kok bisa diambil ya,  Pak? Dikunci dobel kan? " kataku membuka percakapan.

"Lha yaitu..  Maling zaman sekarang memang canggih ya Mas?  Pinter-pinter.., " kata Pak Seto sambil menerawang.

"Anak-anak sudah diberitahu,  Pak? " tanyaku prihatin.  Pikirku , betapa kecewanya mereka yang membelikan sepeda motor itu.

"Sudah,  besok Ahmad pulang,  katanya mau diuruskan karena masih dalam tanggungan asuransi.., " kata Pak Seto pelan.

"Mudah-mudahan bisa diganti, Pak, " kataku membesarkan hati beliau.

"Yah.. Mudah-mudahan,  saya pamit dulu ya,  Mas, mau tidur,  rasanya capek sekali, "kata Pak Seto sambil dituntun cucunya.

"Inggih,  Pak,  jangan dipikir terlalu dalam,  nanti Bapak sakit, " kataku bijak.

Pak Seto tertawa sumbang.  "Ya mikir, ya tidak , Mas..,  tapi Gusti ora sare kok..  Mudah-mudahan ada hikmahnya, " kata beliau lagi.  Sebelum masuk rumah Pak Seto memberikan sebungkus rokok kegemaranku.

"Ngobrolnya besok ya, " katanya sambil tersenyum. 

Rokok kuterima dan Pak Seto masuk rumah.  Bersamaan dengan itu hp ku bergetar,  sebuah notifikasi pesan masuk lewat whatsapp. Kutekan gambar telepon miring berwarna hijau itu.

Beres Bos,  juragan berani 3.5.

Aku tersenyum. Harga tiga setengah juta untuk Beat merah baru tanpa surat rasanya cukup.  Paling tidak ,aku besok bebas dari omelan istriku karena tidak punya uang buat membayar hutang di warung sebelah.

Kujawab singkat pesan itu.  Ok!

Gusti ora sare: Allah tidak tidur
Apes: sial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun