Â
Bu Miah dalam pandangan saya adalah orang yang paling malang hidupnya. Dengan  mata yang sudah mulai rabun dan tubuh yang renta tiap pagi dia duduk di depan rumahnya untuk menyapa orang yang lalu lalang.Â
Kadang saat ada kebutuhan mendesak misal tidak punya uang untuk membeli obat atau beras ia datang ke rumah beberapa warga kampung termasuk saya. Hal yang membuat kami sangat iba adalah ia hidup  tanpa sanak famili dengan kondisi seadanya. Â
Bu Miah hidup sendiri dalam rumah kontrakan yang begitu sempit. Hanya ada dua perabot di rumahnya yaitu satu dipan kayu untuk tidur dan lemari. Â Ada kompor dan beberapa perkakas memasak dan makan untuk Bu Miah sendiri.
Rumah yang dikontrak sebenarnya rumahnya sendiri yang dijual pada orang lain. Â Karena kasihan oleh pembeli ini Bu Miah boleh menempati rumah sampai meninggal. Â
Sebenarnya Bu Miah mempunyai tiga anak.  Anaknya yang pertama perempuan sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,  yang kedua ikut suaminya  sedangkan anak satu-satunya yang laki-laki hilang entah kemana. Saya ingat  dulu sampai dicari lewat media,  tapi hingga sekarang tidak ada kabarnya.Â
Untuk kehidupan sehari-hari bu Miah mendapat bantuan dari kampung. Secara bergantian kami memberikan bantuan ala kadarnya. Â Melihat kondisinya yang seperti itu maka bu Miah adalah prioritas bantuan di kampung kami. Â Jika ada bantuan raskin, Â BLT atau even bedah rumah pasti bu Miah yang dinomor satukan.Â
Di awal long weekend ini saya punya sedikit kisah berkaitan dengan bu Miah. Â Long weekend ini kondisi keuangan saya agak seret. Â Bulan Oktober banyak sekali kebutuhan sehingga akhir bulan kondisi keuangan benar benar minim. Agak sumpek rasanya. Â Apa lagi melihat teman yang update status lagi jalan-jalan atau belanja-belanja. Kadang ada sebersit rasa tidak beruntung dalam diri saya.Â
Pagi itu saat  bersih-bersih tiba-tiba di depan rumah terdengar seseorang mengucapkan salam.
"Assalamu 'alaikum...,"
 Suara yang sangat saya kenal.  Bu Miah.  Biasanya kalau dia ke rumah mesti ada yang diminta.  Duh...  Tanggal tua lagi..  Mau saya kasih uang apa pikir saya resah.Â
" Persilakan masuk Le," Â kata saya pada anak saya.
Dengan tertatih-tatih bu Miah masuk. Â Ketika saya sudah duduk di sebelahnya bu Miah bercerita pada saya dengan wajah sumringah.
"Jeng..  Saya cuma mau cerita,  pagi ini saya mbongkar lemari saya yang bawah ternyata menemukan baju ini.  Ini baju anak saya yang sudah meninggal itu.., " katanya berkaca-kaca.  Saya melihat ia tersenyum dengan penuh kerinduan. Sontak  saya melihat baju yang dipakai Bu Miah.  Baju merah yang  agak kebesaran itu tampak sedikit lusuh.  Mungkin karena disimpan terlalu lama dalam lemari.
"Bu Miah dari mana ini tadi? "
"Dari rumah Jeng, Â saya senang nemu baju ini, Â terus saya tunjukkan pada Jeng, "katanya lagi.
Saya sungguh terharu melihat kebahagiaannya.
Tiba tiba saya ingat masih punya beras di kaleng.
"Tunggu ya  Bu? "
Bergegas saya ambilkan beras satu rantang dan saya masukkan kresek lalu saya sodorkan ke tangannya.
Bu Miah menatap saya dengan tatapan bahagia sambil berkata, Â "Matur nuwun Jeng, sampeyan sangat beruntung. Â Anak anak ngumpul dan semua sehat.. Â mudah mudahan rezeki Jeng selalu melimpah, " katanya sambil berpamitan.Â
Saya antar bu Miah sampai halaman.  Pagi ini melalui Bu Miah Tuhan memberikan pelajaran pada saya, sesungguhnya  masih banyak hal dalam hidup ini yang harus saya syukuri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H