Kegagalan dalam proses mendengarkan ini telah membuat rakyat papua sangat menderita, baik secara fisik jasmani maupun rohani. Mereka bukan hanya terpinggirkan secara sosial ekonomi, tapi sudah mati dilumbung sendiri. Mereka bukan hanya kehilangan eksistensi tapi juga jati diri.
"Pembangunan" yang pemerintah Indonesia lakukan di papua seperti halnya di Jawa, Jakarta khususnya, telah membuat masyarakat lokal mati. Mereka terpinggirkan, terlindas dan tak mampu bertahan di tempat tinggalnya sendiri. Kapital dan kekuatan ekonomi besar melindas tanpa berperi, di Jakarta. Sama halnya di papua, oap tak bisa bertahan dengan laju pembangunan yang ada. Mereka "MATI" !
Lalu pembangunan itu untuk siapa?
JIKA MAU "MENDENGARKAN" PASTI MUDAH MENGENALI DUDUK PERSOALAN
Proses mendengarkan memang tidak mudah, karena proses itu tidak sekedar memahami apa yang terucapkan, tetapi juga memahami keadaan, sejarah, latar belakang, sosial budaya dan kondisi yang sedang dialami dan dipersepsikan oleh si pembicara sekaligus apa yang diharapkan. Emosi, kegelisahan, keresahan sampai dengan kemarahan mewujud dalam berbagai bentuk dan ekspresi sesuai dengan kepribadian.
2 MASALAH MENDASAR
Mencoba memahami apa yang teman-teman papua paparkan, dan mencermati apa yang saya lihat dan rasakan, ada dua hal mendasar setidaknya dalam masalah Papua :
1. Jakarta tidak mendengarkan.Â
Indonesia, Jakarta, tidak memahami kultur dan jiwa masyarakat papua. Seperti diungkapkan Rosa, bahwa masyarakat papua adalah masyarakat komunal (berkelompok). Ini artinya, pendekatan pembangunan harus menggunakan pendekatan komunal, bukan individual seperti selama ini dilakukan.
Yang kedua, Jakarta juga tidak melihat bahwa masyarakat papua tidak mampu untuk berdiri sejajar. Hal seperti ini jangan pernah berharap akan diungkapkan oleh masyarakat papua. Kitalah, sebagai masyarakat yang lebih maju untuk mau 'mendengarkan', keluh resah gelisah hingga kemarahan mereka menghadapi ancaman yang akan mematikan mereka. Bahkan kini proses pemusnahan komunal itu pun sudah makin nyata terjadi.
Ketiga, Jakarta tidak mau memahami apa yang diinginkan oleh masyarakat animha, tetapi memaksakan dan menggurui apa yang Jakarta anggal benar. Hal ini tentu saja selain menindas, melukai perasaan, juga akan mencabut masyarakat animha dari akar dan kultur budayanya. Masyarakat animha yang terbiasa hidup dalam harmoni dengan alam, dipaksakan untuk hidup dalam 'kebenaran' modernitas dan persaingan. Tentu saja hal ini mencerabut kebahagiaan masyarakat animha dan menempatkannya di alam kecemasan. Lalu untuk apa pembangunan jika tak membawa kebahagiaan. Jakarta, sekali lagi, jangan sok pintar.
2. Kerangka pembangunan Papua salah sasaran.