Mohon tunggu...
Rusj
Rusj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Semoga bermanfaat.

Biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasca Tragedi Wamena: Dengarkan, Bukan Menggurui

4 Oktober 2019   12:47 Diperbarui: 4 Oktober 2019   15:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya juga melihat, mereka makin lapar. Dulu mereka makan tinggal memotong sagu dibelakang rumah dan berburu rusa di hutan atau menangkap ikan dikolam-kolam. Tetapi hal itu sudah tak bisa lagi dilakukan Sagu habis, rusa makin jarang dan sangat jauh, begitu juga ikan. Untuk mencari mereka arus menyewa kendaraan. Sementara mereka tak punya ketrampilan atau tak terbiasa bercocok tanam. Hal yang menyedihkan saat alam yang kaya dan subur itu tak lagi bisa menopang kehidupan.

Masyarakat papua adalah masyarakat yang rajin dan menjaga harmoni dengan alam. Ya, memang benar teknologi dan pengetahuan mereka tertinggal, tetapi gairah hidup tidaklah hilang. Sebagian kecil memang doyan mabuk dan tak bertanggungjawab, tapi saya rasa setiap komunitas pasti ada hal yang sama. Namun hal ini menjadikan mereka sering dipandang sebelah mata, dicap sebagai malas dan sebagainya. Inilah yang mungkin membuat mereka marah namun tak tahu harus berbuat apa. Kasihan.

Mengingat hal-hal seperti itu, saya mencoba untuk "mendengarkan" apa yang Rosa ucapkan. Mencoba untuk mencermati dan menarik benang merah kemudian. Mengapa ia harus berbicara disana?

Seringkali saya mendengar pembicara-pembicara papua banyak mengucapkan kata "coba dengarkan kami", "masyarakat papua itu berbeda". Bahkan seorang Gubernur Papua, Lukas enembe mengatakan di Mata Najwa, "kami rakyat papua belum pernah dimanusiakan !". Tak seperti Rosa yang bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, pembicara-pembicara di dalam negeri sepertinya takut mengungkapkan kegundahan hatinya karena alasan keamanan. Sudah banyak suara-suara lantang diredam dengan kekerasan.

MENDENGARKAN, PANGKAL MASALAH

Sepintas, kegiatan mendengarkan itu terlihat sangat mudah. Namun jika dicermati, ternyata sangat sulit. Cerita diatas mungkin baru satu contoh bagaimana proses mendengarkan gagal karena self defense mechanism bekerja. 

Hal lain yang bisa menggagalkan proses mendengarkan adalah proses filtering, yaitu mencoba memahami orang lain menggunakan pola, paradigma dan persepsi si pendengar, alih-alih sebaliknya. Lebih parah lagi jika ketika mendengarkan, kita seolah sudah punya jawaban atas persoalan yang akan diungkapkan. Sebuah proses yang sebenarnya bukan lagi mendengarkan, tetapi mencoba menggurui dan memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain.

Mendengar apa yang diungkapkan Rosa, dan merangkai suara-suara kawan-kawan papua, saya menyimpulkan bahwa tidak terjadi proses mendengarkan seperti yang diharapkan masyarakat papua. Yang terjadi adalah kalau bukan filtering adalah proses menggurui. 

Menarik benang merah dari apa yang dikatakan teman-teman papua, melihat secara langsung kondisi sosial masyarakat papua, dan meramu memori keadaan dan cerita-cerita dulu tentang papua, saya menyimpulkan bahwa "Indonesia" memang tidak pernah "mendengarkan". Indonesia tidak mengerti papua, tidak memahami papua, apalagi membangun papua.

Indonesia datang ke papua seolah-olah seorang savior, juru selamat. Padahal yang terjadi adalah 'pembunuhan' rakyat papua. Semua ini diawali karena kegagalan dalam proses 'mendengarkan'.

CERMATI, "DENGARKAN"

JANGAN MENGGURUI.

Kegagalan dalam proses mendengarkan tentu saja harus diperbaiki, sebelum kita bisa beranjak lebih lanjut ke proses solusi. Karena tidak mungkin kita memberi solusi tanpa memahami akar masalah. "MENDENGARKAN" ADALAH MASALAH KRUSIAL PERTAMA BAGI PAPUA, JUGA BAGI INDONESIA PADA UMUMNYA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun