Mohon tunggu...
Rusj
Rusj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Semoga bermanfaat.

Biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beragam Rasa Mengantar Anak Bersekolah

24 Juli 2016   04:56 Diperbarui: 24 Juli 2016   08:28 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi anak-anak, hari pertama sekolah mungkin sesuatu yang mendebarkan, tetapi juga mungkin sesuatu yang menyenangkan. Maklum aku kini bukan anak-anak lagi. Dan jaman aku sekolah dulu juga berbeda dengan jaman anak-anak sekolah kini.

Saat pertama aku sekolah, waktu itu di kampung, aku dimasukkan sekolah "negeri". Rasanya bangga, karena ada juga sekolah "inpres", karena merasa masuk sekolah yang 'lebih'. Entah dimana lebihnya, ga tahu, mungkin karena lebih negeri, itu saja.

Masuk sekolah waktu itu bukanlah kewajiban, tapi kita merasa malu kalau tidak sekolah. Kita juga bersekolah dengan bertelanjang kaki, "nyeker", bahasa jawanya, berbekal satu buku tulis dan sebuah pensil. Rasanya bahagia sekali.

Lebih beruntung lagi, pas didepan sekolah adalah lapangan sepak bola. Surga bagi kita untuk berlari-lari dan bermain-main. Dan lucunya, kulit kaki kita yang tebal karena tidak bersepatu pun terdapat danau-danau kecil karena dimakan oleh binatang yang sembunyi dibalik rumput itu. Kenangan yang indah.

Beda dulu, beda sekarang. Mengantar anak sekolah seperti masuk ke pasar malam. Ramai, desak-desakan, dan anak pun terlihat bingung harus kemana dimana ia berada. Saat berbaris "lencang depaaaaan grak !" saja sudah tidak ada, bahkan dua sekolah pun harus berbagi halamannya. Bejubel ! "Manusia bisa banyak begini ya ??,... kaya semut !", gumamku dalam hati. Bagaimana 10, 20 tahun kedepan ya? Masih cukupkah halaman sekolah kita? "Apa perlu program satu anak cukup ya ?", pikiranku tak mau berhenti.

...

Banyak warna dan rasa suasana sekolah di negeriku.

Sebagai pegawai yang nurut apa kata perusahaan, dipindah tugaskan adalah hal yang biasa. Akhirnya, anak istri pun turut seperti "sepur" ikut "endas"nya. Berpindah-pindah sekolah adalah langganan bagi anak-anakku jadinya.

Sekolah di manokwari.

Pengalaman berkesan mengantar anak sekolah, adalah ketika bersekolah di papua. Kami sempat berdomisili di Manokwari. Disana berbagai macam suku ada. Mulai dari suku lokal, jawa, sulawesi, ambon batak, bahkan sunda. Pengalaman mengantar sekolah terasa biasa saja, tetapi yang berkesan disana adalah beberapa kali sekolah harus diliburkan karena suasana yang tidak kondusif.

Sebagai pendatang baru pun kadang aku 'telmi'. Suatu pagi, aku bersepeda motor bersama istri, ingin mengisi bensin dan pergi ke pasar. Heran, suasana siang itu lengang sekali, orang-orang, terutama orang lokal pun memandangi kami. Setelah sampai di rumah, seorang teman didaerah lainpun menelepon, menanyakan kabar kami dan bertanya gimana demo disana. "O gitu ya? Pantas, kok ada yang janggal", saya baru paham akan kejadian tadi. Baru ingat, waktu itu sudah dekat dengan 1 Desember, kami tidak mendengar berita karena belum berlangganan televisi.

Sekolah di Merauke.

Pengalaman berikutnya, anakku bersekolah di Merauke. Karena pindahan, kami mencari sekolah yang masih bisa menerima siswa pindahan. Dapatlah kami sebuah sekolah negeri, walau bukan yang terbaik yang penting ada. Saat melihat ruang kelas, aku pun tidak kaget, cuma heran saja, ada ruang kelas yang tidak bersekat satu dengan lainnya. Maklumlah, di kampung, walau sekolah itu ditengah kota. Antara ruang kelas anakku, yang kelas satu, dengan kelas tiga pun menyatu.

Tetapi tidak lama, aku pun mendapati anakku ketakutan saat diantar ke sekolah. Ada apa dalam hatiku? Rupanya ia takut dengan kakak kelasnya, karena disitu biasa main pukul, apalagi kelas mereka tidak ada sekatnya. Kejadian ini pun saya adukan ke kepala sekolah. Heran bukan kepalang menerima jawabannya, "Hal kaya itu biasa saja disini pak !", begitulah jawabannya. Entah bahasanya gimanalah, intinya kepala sekolah tidak peduli akan hal itu, dan malah seolah menyalahkan kami karena tidak bisa menerimanya. "Kok bisa ya, orang kaya gini bisa jadi kepala sekolah ?", keluhku dalam hati.

Akhirnya, aku pindahkan anakku, ke sekolah lain, sekolah yayasan swasta yang lumayan terkenal disana. Dengan harapan anakku tidak lagi menerima kekerasan oleh anak lainnya, karena rata-rata anaknya adalah pendatang . Walau sempat aku tidak suka dengan sistemnya yang "terlalu berlebihan", karena memaksa anak mempunyai kemampuan yang menurutku tidak sesuai usianya.

Tetapi, anakku mendapatkan masalah baru. Ia takut sekali masuk kelas, dan tidak mau bersekolah. Mungkin ia malu, dalam hatiku, karena tertinggal pelajaran membacanya. Kami dirumah pun membantu agar ia bisa mengejar ketertinggalan.

Tetapi hal itupun tidak membantu. Setiap, didepan kelas, ia pun berontak, tidak mau masuk kelas, takut. Akhirnya, akupun menemani dengan duduk di sebelahnya. Aku perhatikan, apa sebenarnya yang membuat dia ketakutan. Aku hanya mengira-ngira, mungkin anakku takut dengan gurunya yang memang berperawakan tinggi besar. Yang kusesalkan adalah, aku tetap memaksa anakku pergi ke sekolah, duduk sendiri dikelas, meski aku tetap memperhatikan dari luar. Mungkin lama-lama ia akan terbiasa, batinku.

Tetapi, harapanku sirna. Anakku pun tidak naik kelas karena dianggap tidak bisa membaca. Sedih, kecewa, sesal dan rasa bersalah karena telah memaksakan kehendakku. Anakku saat belajar dirumah bukanlah anak yang lamban mengikuti pelajaran. Istriku yang seorang guru SMA, sering memperjuangkan anak lain agar bisa tanpa beban bisa mengikuti pelajaran, kini harus menghadapi anaknya ketakutan dengan guru sekolahnya. Ironis. Bukankah, membaca adalah hal yang natural, seiring perkembangan anak. Bukankah anak sekolah apalagi kelas satu SD, adalah masa-masa belajar bersosial dan mengenal lingkungannya jauh lebih penting daripada sekedar kemampuan membaca.

Sesal tiada guna, aku telah memberi anakku, lingkungan yang menakutkan. Setelah kini aku tanya, rupanya ia waktu sangat takut, karena gurunya suka memarahi temannya yang dianggap nakal, dengan memukulkan penggaris kayu ke meja yang menimbulkan suara yang keras menakutkan. Ketidaksukaanku pun makin menguat kepada sekolah itu, bahwa tidak benar, memaksa anak belajar atas nama kemampuan, demi nama sekolah agar dianggap anaknya pintar-pintar dan berprestasi. Sebuah pandangan salah kaprah atas dunia pendidikan, yang juga banyak diamini masyarakat.

Tahun berikutnya, ku pindahkan anakku ke sekolah negeri yang terkenal favorit disana. Semua lancar, tidak ada hambatan baginya untuk masuk kelas. Anakku pun cepat mengikuti pelajaran, dan sempat mendapat ranking dua. Namun, kejadian seperti di sekolah negeri sebelumnya pun terulang. Anakku mendapat pukulan beberapa kali di perut oleh kakak kelasnya. Kali ini bukan oleh anak papua. Entah ada apa dengan anakku, apa karena badannya yang kelihatan bongsor? Dan sikapnya yang tidak menunjukkan rasa takut-takut? Entahlah.

Tapi aku tak ingin membuat anakku jadi penakut, apalagi dia laki-laki. Ini papua !, batinku, main pukul adalah biasa, kalau takut makin habis kita diinjak orang. Sepertinya disini masih hukum rimba, kalau kita tidak bertahan, makin habislah kita. Akhirnya aku ajarkan dia bagaimana cara membalas meski tak bakal memenangkannya. Saya ingin ajarkan, bahwa, semut pun bisa melawan jika diinjak, jangan takut, meski harus tetap realistis, karena tak mungkin ia menang melawannya. Hebatnya, ketika si kakak kelas yang duduk dikelas empat itu menyerang, ia pun menonjokkan pukulannya sampai anak itu kesakitan. Sayangnya, berikutnya ia mengajak teman-temannya mengeroyok anakku.

Persoalan inipun akhirnya bisa dihentikan setelah kami mengancam anak itu, dengan melaporkannya ke polisi jika terjadi apa-apa dengan anakku. Sedih, tapi mau gimana lagi. Sekolah seolah tidak punya kuasa untuk menghentikannya. Lebih sedih lagi, ketika melihat anak-anak sekolah di jawa pun suka berkelahi sudah seperti kriminal. Kenakalan anak sekolah, sudah makin mengkhawatirkan.

Sekolah di Bogor.

Kembali ke jawa, anak-anakpun pindah sekolah, di bogor tepatnya. Lega rasanya bisa sekolah ditempat yang lebih beradab, pikirku. Kali ini anakku yang sudah kelas tiga tidak mengalami banyak kendala dalam mengikuti pelajarannya. Tetapi yang punya cerita unik sekarang adalah adiknya yang baru memasuki kelas dua.

Si adik memang punya karakter yang tidak biasa. Aku sendiri dibuat heran dengan kebiasaannya. Sewaktu TK di Merauke, ia suka tidur di kelas !. Awalnya saya menganggapnya tidak sopan, tidak mengikuti guru, dsb. Dia pun sering menangis saat pulang sekolah. Tapi dalam hati berkata ia cuma anak-anak, yang patuh kalau disuruh. Dia tidak kelihatan seperti anak pemberontak. Aneh !

Akhirnya sang guru pun sudah terbiasa, saya pun memakluminya. Yang penting ia tetap bersekolah, pikirku. Saya hanya menyadari bahwa setiap anak memang berbeda. Ketika anak-anak suka bermain bersama, ia lebih suka bermain sendiri, mengumpulkan buah-buahan yang ia anggap unik dan menarik. Ketika sudah agak besar, saya pun bertanya, mengapa dulu suka tidur di kelas? Dia hanya berkata, "Saya pusing !". Kok bisa ya? Rupanya, baru saya pahami karena ibunya pun sama, suka pusing karena harus memperhatikan banyak orang. Karena tidak tahan akhirnya tidurlah obatnya. Ada ya yang tipe begini? Langka.

Saat pindah sekolah di Bogor, si adik mengalami sebuah masalah. Sayangnya saya tidak bisa mengikuti perkembangannya, karena harus berjauhan di kota berbeda. Istri yang sebagai guru pun tidak bisa menemani, karena harus bekerja. Si adik hanya bisa bertahan sekolah selama dua minggu mulai dari pertama masuk sekolah di SD ini. Ia benar-benar tidak mau masuk sekolah walau sudah dibujuk dirayu.

Cerita yang saya dengar berawal dari soal PR. Karena sifatnya yang pendiam dan pasif, rupanya ia salah dengar dan belum punya buku LKS. Sang guru memberikan hukuman keluar kelas. Rupanya karena malu ditertawakan ibu-ibu diluar kelas, mulai saat itulah ia ngambek tidak mau lagi bersekolah. Dia merasa sudah berusaha melaksanakan tugas, tetapi tidak ada artinya, malah dipermalukan.

Setahun akhirnya berhenti tidak bersekolah, sambil menunggu perkembangan jiwanya. Sangat disayangkan jika guru bersikap berlebihan dalam menghukum tanpa mau melihat duduk masalahnya. Apalagi belum bisa memahami perkembangan psikologi anak di usianya. Menurut informasi, sang guru sebenarnya tidak punya pendidikan keguruan, ia bisa mengajar hanya karena ia adalah putri kepala sekolah di sekolah itu.

Tahun berikutnya, si Adik dan kakaknya saya pindahkan ke sekolah lain. Kebetulan saat itu saya sudah bisa menemani. Dengan hati-hati, saya sampaikan kepada calon wali kelas si Adik, bahwa karakter anak saya agak berbeda. Alhamdulillah, bu guru yang sekarang sangat ngemong, dan sangat perhatian pada mental si anak. Akhirnya ia bisa bersekolah dengan lancar tanpa kendala.

...

Begitulah sekelumit cerita tentang mengantar anak pergi ke sekolah. Sekolah yang menjadi harapan orang tua bukanlah institusi yang sempurna. Ada saja masalah dan kondisi, dimana anak tidak memahami dan mengatasinya. Bahkan, ada juga sekolah yang tidak bertanggungjawab atas keburukan tenaga pendidiknya. Disanalah arti kehadiran kita sebagai orang tua, ditengah kehidupan anak-anak dalam menatap dunia yang tidak sempurna.

Saya pun sering mendengar dari istri yang seorang guru, masalah-masalah anak bersekolah muncul karena faktor keluarga. Ada yang karena miskin, orang tua bercerai, orang tua sakit, sampai tidak punya orang tua. Namun sayangnya, banyak pendidik yang tidak mau memahami kondisi mereka. Yang mereka pedulikan hanyalah keinginan dan target mereka. Anak-anak seperti ini sangat menderita, bukan saja oleh kondisinya yang sulit, tapi juga perlakuan pendidik yang tidak peduli padanya. Mereka hanya diam, pasrah tak berdaya dihadapan sistem yang makin jauh dari berpihak padanya.

Guru, yang dulu sangat dihormati dan mempunyai kedudukan terhormat ditengah masyarakat, kini makin bergeser menjadi pekerja biasa. Ilmu yang dulu dianggap sebagai hal yang mulia, kini makin dilihat hanya sebagai komoditas ekonomi belaka. Tidak hanya pandangan masyarakat yang berubah, sekolah pun makin terdegradasi motivasinya. Ada saja cara mereka menarik fulus dari para orang tua, untuk alasan yang entahlah, apa bisa dipercaya. Kesannya sukarela, padahal memaksa. Pendaftaran, pembagian rapot, kenaikan kelas adalah senjata yang biasa digunakannya.

Sekolah, yang seyogyanya menjadi institusi negara untuk mencerdaskan bangsa, menjalankan amanat rakyat, dan menjadi tempat tertinggi bagi nilai dan norma, kini cenderung makin transaksional, materialistis dan palsu. Inilah yang perlu ditelaah dan dikembalikan pada fungsi dan nafas sekolah yang seharusnya. Semoga sekolah dijadikan kembali menjadi institusi yang murni menjalankan misi kemanusiaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun