Mohon tunggu...
Rusj
Rusj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Semoga bermanfaat.

Biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beragam Rasa Mengantar Anak Bersekolah

24 Juli 2016   04:56 Diperbarui: 24 Juli 2016   08:28 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekolah di Bogor.

Kembali ke jawa, anak-anakpun pindah sekolah, di bogor tepatnya. Lega rasanya bisa sekolah ditempat yang lebih beradab, pikirku. Kali ini anakku yang sudah kelas tiga tidak mengalami banyak kendala dalam mengikuti pelajarannya. Tetapi yang punya cerita unik sekarang adalah adiknya yang baru memasuki kelas dua.

Si adik memang punya karakter yang tidak biasa. Aku sendiri dibuat heran dengan kebiasaannya. Sewaktu TK di Merauke, ia suka tidur di kelas !. Awalnya saya menganggapnya tidak sopan, tidak mengikuti guru, dsb. Dia pun sering menangis saat pulang sekolah. Tapi dalam hati berkata ia cuma anak-anak, yang patuh kalau disuruh. Dia tidak kelihatan seperti anak pemberontak. Aneh !

Akhirnya sang guru pun sudah terbiasa, saya pun memakluminya. Yang penting ia tetap bersekolah, pikirku. Saya hanya menyadari bahwa setiap anak memang berbeda. Ketika anak-anak suka bermain bersama, ia lebih suka bermain sendiri, mengumpulkan buah-buahan yang ia anggap unik dan menarik. Ketika sudah agak besar, saya pun bertanya, mengapa dulu suka tidur di kelas? Dia hanya berkata, "Saya pusing !". Kok bisa ya? Rupanya, baru saya pahami karena ibunya pun sama, suka pusing karena harus memperhatikan banyak orang. Karena tidak tahan akhirnya tidurlah obatnya. Ada ya yang tipe begini? Langka.

Saat pindah sekolah di Bogor, si adik mengalami sebuah masalah. Sayangnya saya tidak bisa mengikuti perkembangannya, karena harus berjauhan di kota berbeda. Istri yang sebagai guru pun tidak bisa menemani, karena harus bekerja. Si adik hanya bisa bertahan sekolah selama dua minggu mulai dari pertama masuk sekolah di SD ini. Ia benar-benar tidak mau masuk sekolah walau sudah dibujuk dirayu.

Cerita yang saya dengar berawal dari soal PR. Karena sifatnya yang pendiam dan pasif, rupanya ia salah dengar dan belum punya buku LKS. Sang guru memberikan hukuman keluar kelas. Rupanya karena malu ditertawakan ibu-ibu diluar kelas, mulai saat itulah ia ngambek tidak mau lagi bersekolah. Dia merasa sudah berusaha melaksanakan tugas, tetapi tidak ada artinya, malah dipermalukan.

Setahun akhirnya berhenti tidak bersekolah, sambil menunggu perkembangan jiwanya. Sangat disayangkan jika guru bersikap berlebihan dalam menghukum tanpa mau melihat duduk masalahnya. Apalagi belum bisa memahami perkembangan psikologi anak di usianya. Menurut informasi, sang guru sebenarnya tidak punya pendidikan keguruan, ia bisa mengajar hanya karena ia adalah putri kepala sekolah di sekolah itu.

Tahun berikutnya, si Adik dan kakaknya saya pindahkan ke sekolah lain. Kebetulan saat itu saya sudah bisa menemani. Dengan hati-hati, saya sampaikan kepada calon wali kelas si Adik, bahwa karakter anak saya agak berbeda. Alhamdulillah, bu guru yang sekarang sangat ngemong, dan sangat perhatian pada mental si anak. Akhirnya ia bisa bersekolah dengan lancar tanpa kendala.

...

Begitulah sekelumit cerita tentang mengantar anak pergi ke sekolah. Sekolah yang menjadi harapan orang tua bukanlah institusi yang sempurna. Ada saja masalah dan kondisi, dimana anak tidak memahami dan mengatasinya. Bahkan, ada juga sekolah yang tidak bertanggungjawab atas keburukan tenaga pendidiknya. Disanalah arti kehadiran kita sebagai orang tua, ditengah kehidupan anak-anak dalam menatap dunia yang tidak sempurna.

Saya pun sering mendengar dari istri yang seorang guru, masalah-masalah anak bersekolah muncul karena faktor keluarga. Ada yang karena miskin, orang tua bercerai, orang tua sakit, sampai tidak punya orang tua. Namun sayangnya, banyak pendidik yang tidak mau memahami kondisi mereka. Yang mereka pedulikan hanyalah keinginan dan target mereka. Anak-anak seperti ini sangat menderita, bukan saja oleh kondisinya yang sulit, tapi juga perlakuan pendidik yang tidak peduli padanya. Mereka hanya diam, pasrah tak berdaya dihadapan sistem yang makin jauh dari berpihak padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun