Mohon tunggu...
Rusj
Rusj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Semoga bermanfaat.

Biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beragam Rasa Mengantar Anak Bersekolah

24 Juli 2016   04:56 Diperbarui: 24 Juli 2016   08:28 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah di Merauke.

Pengalaman berikutnya, anakku bersekolah di Merauke. Karena pindahan, kami mencari sekolah yang masih bisa menerima siswa pindahan. Dapatlah kami sebuah sekolah negeri, walau bukan yang terbaik yang penting ada. Saat melihat ruang kelas, aku pun tidak kaget, cuma heran saja, ada ruang kelas yang tidak bersekat satu dengan lainnya. Maklumlah, di kampung, walau sekolah itu ditengah kota. Antara ruang kelas anakku, yang kelas satu, dengan kelas tiga pun menyatu.

Tetapi tidak lama, aku pun mendapati anakku ketakutan saat diantar ke sekolah. Ada apa dalam hatiku? Rupanya ia takut dengan kakak kelasnya, karena disitu biasa main pukul, apalagi kelas mereka tidak ada sekatnya. Kejadian ini pun saya adukan ke kepala sekolah. Heran bukan kepalang menerima jawabannya, "Hal kaya itu biasa saja disini pak !", begitulah jawabannya. Entah bahasanya gimanalah, intinya kepala sekolah tidak peduli akan hal itu, dan malah seolah menyalahkan kami karena tidak bisa menerimanya. "Kok bisa ya, orang kaya gini bisa jadi kepala sekolah ?", keluhku dalam hati.

Akhirnya, aku pindahkan anakku, ke sekolah lain, sekolah yayasan swasta yang lumayan terkenal disana. Dengan harapan anakku tidak lagi menerima kekerasan oleh anak lainnya, karena rata-rata anaknya adalah pendatang . Walau sempat aku tidak suka dengan sistemnya yang "terlalu berlebihan", karena memaksa anak mempunyai kemampuan yang menurutku tidak sesuai usianya.

Tetapi, anakku mendapatkan masalah baru. Ia takut sekali masuk kelas, dan tidak mau bersekolah. Mungkin ia malu, dalam hatiku, karena tertinggal pelajaran membacanya. Kami dirumah pun membantu agar ia bisa mengejar ketertinggalan.

Tetapi hal itupun tidak membantu. Setiap, didepan kelas, ia pun berontak, tidak mau masuk kelas, takut. Akhirnya, akupun menemani dengan duduk di sebelahnya. Aku perhatikan, apa sebenarnya yang membuat dia ketakutan. Aku hanya mengira-ngira, mungkin anakku takut dengan gurunya yang memang berperawakan tinggi besar. Yang kusesalkan adalah, aku tetap memaksa anakku pergi ke sekolah, duduk sendiri dikelas, meski aku tetap memperhatikan dari luar. Mungkin lama-lama ia akan terbiasa, batinku.

Tetapi, harapanku sirna. Anakku pun tidak naik kelas karena dianggap tidak bisa membaca. Sedih, kecewa, sesal dan rasa bersalah karena telah memaksakan kehendakku. Anakku saat belajar dirumah bukanlah anak yang lamban mengikuti pelajaran. Istriku yang seorang guru SMA, sering memperjuangkan anak lain agar bisa tanpa beban bisa mengikuti pelajaran, kini harus menghadapi anaknya ketakutan dengan guru sekolahnya. Ironis. Bukankah, membaca adalah hal yang natural, seiring perkembangan anak. Bukankah anak sekolah apalagi kelas satu SD, adalah masa-masa belajar bersosial dan mengenal lingkungannya jauh lebih penting daripada sekedar kemampuan membaca.

Sesal tiada guna, aku telah memberi anakku, lingkungan yang menakutkan. Setelah kini aku tanya, rupanya ia waktu sangat takut, karena gurunya suka memarahi temannya yang dianggap nakal, dengan memukulkan penggaris kayu ke meja yang menimbulkan suara yang keras menakutkan. Ketidaksukaanku pun makin menguat kepada sekolah itu, bahwa tidak benar, memaksa anak belajar atas nama kemampuan, demi nama sekolah agar dianggap anaknya pintar-pintar dan berprestasi. Sebuah pandangan salah kaprah atas dunia pendidikan, yang juga banyak diamini masyarakat.

Tahun berikutnya, ku pindahkan anakku ke sekolah negeri yang terkenal favorit disana. Semua lancar, tidak ada hambatan baginya untuk masuk kelas. Anakku pun cepat mengikuti pelajaran, dan sempat mendapat ranking dua. Namun, kejadian seperti di sekolah negeri sebelumnya pun terulang. Anakku mendapat pukulan beberapa kali di perut oleh kakak kelasnya. Kali ini bukan oleh anak papua. Entah ada apa dengan anakku, apa karena badannya yang kelihatan bongsor? Dan sikapnya yang tidak menunjukkan rasa takut-takut? Entahlah.

Tapi aku tak ingin membuat anakku jadi penakut, apalagi dia laki-laki. Ini papua !, batinku, main pukul adalah biasa, kalau takut makin habis kita diinjak orang. Sepertinya disini masih hukum rimba, kalau kita tidak bertahan, makin habislah kita. Akhirnya aku ajarkan dia bagaimana cara membalas meski tak bakal memenangkannya. Saya ingin ajarkan, bahwa, semut pun bisa melawan jika diinjak, jangan takut, meski harus tetap realistis, karena tak mungkin ia menang melawannya. Hebatnya, ketika si kakak kelas yang duduk dikelas empat itu menyerang, ia pun menonjokkan pukulannya sampai anak itu kesakitan. Sayangnya, berikutnya ia mengajak teman-temannya mengeroyok anakku.

Persoalan inipun akhirnya bisa dihentikan setelah kami mengancam anak itu, dengan melaporkannya ke polisi jika terjadi apa-apa dengan anakku. Sedih, tapi mau gimana lagi. Sekolah seolah tidak punya kuasa untuk menghentikannya. Lebih sedih lagi, ketika melihat anak-anak sekolah di jawa pun suka berkelahi sudah seperti kriminal. Kenakalan anak sekolah, sudah makin mengkhawatirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun