Aku membuka mata. Gelap sekali.Â
Di mana ini? Kenapa aku bisa ada di sini?
Aku mencoba berdiri dan meraba-raba dalam kebutaan. Sembari berusaha mengingat-ingat hal apa yang kulakukan terakhir kali.
Aku tadi sedang berada di kantor. Kemudian saat jam istirahat tiba, aku pergi ke toilet. Lalu... apa yang terjadi? Aku tak bisa mengingatnya.
Aku mengulurkan tangan ke depan dan melangkah perlahan, berusaha mencari pegangan. Kalau ini memang ruangan toilet kantorku, pasti sedikit lagi aku sudah bisa mencapai pintu atau dinding, mengingat sempitnya ruangan ini. Namun, hingga beberapa langkah ke depan, ternyata aku belum juga menyentuh apapun. Ini aneh.
Lalu kudengar sesuatu. Suara langkah. Pelan, tetapi cukup membuat bulu kudukku berdiri. Aku terpaku dalam gelap.
Suara itu terdengar semakin dekat. Dan semakin dekat.
Tiba-tiba seleret cahaya muncul beberapa langkah di depanku. Seperti ada sebuah pintu yang membuka di hadapanku.Â
Dan sebuah sosok gelap melangkah memasuki ruangan. Aku tak dapat melihat wujudnya dengan jelas. Aku beringsut mundur perlahan.
Dan terdengar suara memanggil
"Niii... naaa..."
Aku terkesiap. Darahku seolah naik hingga ke puncak kepala.
Sosok itu memanggil namaku?
Kubekap mulutku sendiri dengan telapak tangan, mencegah jerit ketakutan lolos dari tenggorokanku.
Ia semakin dekat. Tangannya terulur ke arahku.
Aku segera berkelit menghindarinya dan berlari kencang menuju cahaya yang kuduga adalah jalan keluar itu. Aku bertekad untuk segera mencapainya dan menutup pintunya, mengurung makhluk menyeramkan ini di dalam!
Aku sampai di pintu dan langsung menarik daun pintu untuk menutupnya. Namun sepotong tangan sempat menjulur melalui celah pintu dan memegangi pergelangan tanganku.Â
Aku menjerit dan berontak sekuat tenaga. Berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan pucat dengan sesuatu berwarna merah yang melingkari pergelangannya itu.
Aku berhasil melepaskan diri dan langsung membanting pintu. Kemudian berbalik dan segera berlari menyusuri lorong sempit yang berkelok-kelok dengan dinding putih mengilat.
Aku berlari dan terus berlari, berharap segera tiba di ujung lorong ini entah di mana pun berakhirnya, sebelum makhluk itu berhasil mengejarku.
Sembari berlari pikiranku tertambat pada tangan makhluk mengerikan tadi. Sepertinya aku sangat mengenal benda itu. Memoriku berputar cepat ke masa lalu.
"Nin, kamu kok tadi dipanggil Ryan diam aja, sih?" tanya Lena teman sebangkuku. "Kamu enggak dengar, ya?"
"Dengar, kok," jawabku sambil menunduk, berpura-pura sibuk memeriksa pekerjaan rumahku yang akan dikumpulkan sebentar lagi saat bel masuk berbunyi.
"Lho, kalau dengar kok enggak jawab?" Lena mengernyit heran. "Kasihan lho, Ryan. Sepertinya ada keperluan penting sama kamu."
Aku menggeleng. "Enggak penting, kok..."
Lena mengangkat alisnya semakin tinggi. "Memangnya kamu sudah tahu Ryan mau bicara apa?"
Aku terdiam.
Lena melipat kedua lengannya di dada sambil mengamatiku, kemudian tertawa.
"Jangan-jangan, dugaanku kemarin benar, ya?" ucapnya setengah menuduh.
"Apaan sih, Len..." aku mengelak, menyembunyikan wajahku yang memerah.
"Iya kan, benar kan, Ryan suka sama kamu?" Lena terkikik. "Wah asyik ya, kamu ditaksir sama idola sekolah."
"Ah, enggak kok, Len," aku menunduk semakin dalam.
"Alaa, enggak usah mengelak," ucap Lena dengan senyum jahil di wajahnya, "sudahlah, nanti kalau Ryan panggil kamu lagi, jangan menghindar ya. Siapa tahu dia mau menyatakan cinta ke kamu."
"Mmh..." aku hanya bergumam tak tahu harus menjawab apa. Dan bel masuk pun berbunyi, menyelamatkanku dari keusilan Lena.
Â
Aku memandang sekilas pantulan diriku di kaca jendela sekolah. Apa mungkin Ryan, cowok yang paling diidolakan di sekolah menyukaiku? Seorang gadis pendiam yang tidak aktif di bidang apapun, lebih sering berkutat dengan buku-buku bacaan yang dipinjam dari perpustakaan, dan tak pernah duduk lama di kantin yang ramai untuk bersenda gurau dengan teman-teman. Kami hanya pernah berbicara sekali saja ketika kelas 1 dulu, saat diadakan acara bazaar sekolah dan Ryan mengunjungi booth kerajinan tangan milikku.
Namun entah kenapa belakangan ini Ryan memang sering sekali mengajakku berbicara. Saat bertemu di koridor sekolah, di koperasi atau di ruang guru. Ada saja yang ditanyakannya. Mulai dari pelajaran sekolah sampai hobiku. Dan aku bukan tak menyadari tatapan lembutnya saat sedang berbicara denganku. Aku hanya tak mau berpikir  terlalu jauh. Tak ingin berharap.
"Nin, mau pulang ya?" sapa sebuah suara di belakangku.
Aku menoleh terkejut. Ryan dengan senyum ramah yang biasanya, berdiri di belakangku entah sejak kapan.
"Eh, ehm... belum," aku menggeleng sembari menunduk, "aku mau mengembalikan buku dulu ke perpustakaan."
"Oh, begitu," sahut Ryan, "hmm... kalau begitu nanti pulangnya sama-sama, ya?"
Aku tertegun sesaat. Ryan mengajakku pulang bersama?
"Eeh... tapi, setelah itu aku mau meminjam buku lagi. Untuk... eh, bacaan tambahan," jawabku gugup.
"Enggak apa-apa," jawab Ryan. "Kebetulan aku mau membeli sesuatu dulu di toko buku ujung jalan sana. Nanti aku tunggu kamu di halte depan toko buku itu aja, ya," ucap Ryan.
"Ehm... tapi..."
"Pokoknya aku tunggu di halte ya, Nin," ucap Ryan lagi sembari melambai dan segera berbalik menuju pintu keluar sekolah. Â Aku terpana sesaat melihat benda di tangannya.Â
Apakah benar yang dikatakan Lena, bahwa Ryan suka padaku? Dan tujuan Ryan mengajakku bertemu nanti, untuk... menyatakan cinta? Ini tidak mungkin, kan? Kalaupun benar Ryan hendak menyatakan cinta, apa dia benar-benar serius? Bagaimana kalau ternyata dia hanya main-main saja, dan hubungan kami hanya berjalan sebentar saja lalu putus? Aku akan menjadi  bulan-bulanan semua orang di sekolah. Aku tak sanggup menghadapinya. Lebih baik sejak awal aku tak usah berhubungan dengan Ryan. Meskipun aku sebenarnya sangat menyukainya.
 Dan sore itu aku memutuskan untuk pulang ke rumah dengan mengambil jalan memutar, menghindari halte tempat Ryan menungguku.
Â
 Kakiku terasa lelah berlari. Napasku hampir habis. Dan akhirnya aku melihat sebuah pintu di ujung sana. Pintu yang sepertinya mengarah ke luar. Aku berhasil!
 Aku tiba di ujung lorong. Sebuah jalan raya yang cukup ramai menyambutku. Aku tertegun. Aku sangat mengenal tempat ini!
 Aku melihat ke seberang, mengamati.
 Seorang remaja laki-laki sedang duduk termenung di sebuah halte yang telah sepi. Sesekali ia menoleh ke ujung jalan, seperti menunggu sesuatu. Kemudian hujan mulai turun dengan deras. Tetapi ia tetap bergeming di tempat duduknya.
 Dan hujan tak kunjung reda hingga malam tiba. Sang remaja dengan wajah sedih akhirnya pergi meninggalkan halte, berjalan sendirian menembus hujan yang turun dengan sangat deras.
Â
 Aku menangis melihat pemandangan itu. Hatiku dipenuhi penyesalan. Maafkan aku, Ryan, karena tidak menepati janjiku sore itu. Aku merasa sangat khawatir ketika beberapa hari setelah itu kamu tidak juga masuk sekolah, dan akhirnya datang berita duka cita dari orangtuamu yang mengabarkan kamu telah meninggal duni. Sepanjang tahun aku berusaha mengabaikan dan tak memikirkan penyebab kematianmu. Tak ingin diliputi rasa bersalah terus menerus dan akhirnya memutuskan untuk melupakanmu selamanya. Seterusnya. Hingga aku dewasa.Â
 "Nina..." sebuah suara memanggil. Aku menoleh dan terkejut. Ryan!
 "Jangan pergi, Nin..." Ryan memegangi tanganku, mencegahku berlari. Aku menunduk menatap pergelangan tangannya yang dilingkari gelang tali berwarna merah. Kerajinan tangan buatanku sendiri yang dibeli olehnya dulu saat bazaar sekolah.
 "Aku masih memakainya terus, lho." Ryan memamerkan gelang itu dengan bangga.
 "R... Ryan... kamu kan...  sudah meninggal..." ucapku gemetar.
 Ryan tersenyum lagi. "Kamu juga, Nin."
 "A... apa?" Aku tercekat. "K... kapan? Aku kan tadi sedang berada di kantor! Aku masuk ke toilet, lalu... lalu.. ini... ini dimana, sih?" teriakku panik.
 "Tenang, Nin," ucap Ryan menenangkanku. "Kamu tadi mengalami serangan jantung. Penyakit yang sudah kamu derita sejak kecil. Ya kan?"
 Aku tertegun. Aku memang memiliki penyakit jantung bawaan sejak kecil. Salah satu hal yang membuatku ragu dan tak percaya diri untuk menerima cinta Ryan saat itu.Â
 "Aku tadi bermaksud menjemputmu di ruangan itu," jelas Ryan. "Tapi kamu malah berlari ketakutan."
 "Ruangan yang gelap tadi itu... ruangan apa itu?" tanyaku masih bingung.
 "Ruang Antara," jawab Ryan "tempat dimana jiwa yang baru saja melepaskan diri dari tubuh fisik harus mencari jalan keluarnya masing-masing. Dan aku sengaja menjemputmu supaya kita dapat bersama."
 Aku terdiam sesaat. Berusaha memahami semuanya.
 "Aku... aku mau minta maaf," desahku gugup akhirnya. "Dulu tidak menepati janjiku untuk bertemu di halte. Dan membuatmu..."
 "Meninggal?" sahut Ryan cepat. Ia tertawa kecil. "Bukan salahmu, Nin. Aku memang mempunyai masalah dengan paru-paru sejak bayi. Jadi yah, kehujanan sedikit saja sudah membuat kondisiku menurun drastis. Aku sendiri yang ceroboh, kok."
 "Kamu... enggak marah...?" tanyaku.
 "Sama sekali enggak." Ryan menggeleng. "Aku justru ingin mengulang kembali dan memulai apa yang dulu belum sempat kita jalani, Nin. Kamu mau, kan?"
 Aku menatapnya dalam-dalam. Ryan tersenyum lembut. Senyuman yang dulu selalu diberikannya kepadaku setiap kali bertemu namun tak pernah kubalas.
 "Ya, aku mau." Aku tersenyum padanya.
 "Terima kasih, Nin"
 Kemudian Ryan menggenggam tanganku menyeberangi jalan, menuju halte dimana kami seharusnya dulu bertemu.Â
Pertemuan yang tertunda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H