Aku menangis melihat pemandangan itu. Hatiku dipenuhi penyesalan. Maafkan aku, Ryan, karena tidak menepati janjiku sore itu. Aku merasa sangat khawatir ketika beberapa hari setelah itu kamu tidak juga masuk sekolah, dan akhirnya datang berita duka cita dari orangtuamu yang mengabarkan kamu telah meninggal duni. Sepanjang tahun aku berusaha mengabaikan dan tak memikirkan penyebab kematianmu. Tak ingin diliputi rasa bersalah terus menerus dan akhirnya memutuskan untuk melupakanmu selamanya. Seterusnya. Hingga aku dewasa.Â
 "Nina..." sebuah suara memanggil. Aku menoleh dan terkejut. Ryan!
 "Jangan pergi, Nin..." Ryan memegangi tanganku, mencegahku berlari. Aku menunduk menatap pergelangan tangannya yang dilingkari gelang tali berwarna merah. Kerajinan tangan buatanku sendiri yang dibeli olehnya dulu saat bazaar sekolah.
 "Aku masih memakainya terus, lho." Ryan memamerkan gelang itu dengan bangga.
 "R... Ryan... kamu kan...  sudah meninggal..." ucapku gemetar.
 Ryan tersenyum lagi. "Kamu juga, Nin."
 "A... apa?" Aku tercekat. "K... kapan? Aku kan tadi sedang berada di kantor! Aku masuk ke toilet, lalu... lalu.. ini... ini dimana, sih?" teriakku panik.
 "Tenang, Nin," ucap Ryan menenangkanku. "Kamu tadi mengalami serangan jantung. Penyakit yang sudah kamu derita sejak kecil. Ya kan?"
 Aku tertegun. Aku memang memiliki penyakit jantung bawaan sejak kecil. Salah satu hal yang membuatku ragu dan tak percaya diri untuk menerima cinta Ryan saat itu.Â
 "Aku tadi bermaksud menjemputmu di ruangan itu," jelas Ryan. "Tapi kamu malah berlari ketakutan."
 "Ruangan yang gelap tadi itu... ruangan apa itu?" tanyaku masih bingung.