"Ehm... tapi..."
"Pokoknya aku tunggu di halte ya, Nin," ucap Ryan lagi sembari melambai dan segera berbalik menuju pintu keluar sekolah. Â Aku terpana sesaat melihat benda di tangannya.Â
Apakah benar yang dikatakan Lena, bahwa Ryan suka padaku? Dan tujuan Ryan mengajakku bertemu nanti, untuk... menyatakan cinta? Ini tidak mungkin, kan? Kalaupun benar Ryan hendak menyatakan cinta, apa dia benar-benar serius? Bagaimana kalau ternyata dia hanya main-main saja, dan hubungan kami hanya berjalan sebentar saja lalu putus? Aku akan menjadi  bulan-bulanan semua orang di sekolah. Aku tak sanggup menghadapinya. Lebih baik sejak awal aku tak usah berhubungan dengan Ryan. Meskipun aku sebenarnya sangat menyukainya.
 Dan sore itu aku memutuskan untuk pulang ke rumah dengan mengambil jalan memutar, menghindari halte tempat Ryan menungguku.
Â
 Kakiku terasa lelah berlari. Napasku hampir habis. Dan akhirnya aku melihat sebuah pintu di ujung sana. Pintu yang sepertinya mengarah ke luar. Aku berhasil!
 Aku tiba di ujung lorong. Sebuah jalan raya yang cukup ramai menyambutku. Aku tertegun. Aku sangat mengenal tempat ini!
 Aku melihat ke seberang, mengamati.
 Seorang remaja laki-laki sedang duduk termenung di sebuah halte yang telah sepi. Sesekali ia menoleh ke ujung jalan, seperti menunggu sesuatu. Kemudian hujan mulai turun dengan deras. Tetapi ia tetap bergeming di tempat duduknya.
 Dan hujan tak kunjung reda hingga malam tiba. Sang remaja dengan wajah sedih akhirnya pergi meninggalkan halte, berjalan sendirian menembus hujan yang turun dengan sangat deras.
Â