Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Star Traveller

23 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 23 Februari 2020   09:03 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Diana menarik napas panjang, memenuhi kerongkongannya dengan angin laut yang sejuk. Memorinya berlari cepat ke belakang, dan  berhenti tepat di pertengahan Juni tahun lalu, saat ia pertama kali datang ke pantai ini.

Di sinilah pemuda itu berdiri memandang langit malam. Diana tak dapat melihat wajahnya dari belakang; namun tubuhnya yang tinggi, tangannya yang beberapa kali bergerak menyapu rambutnya yang berantakan dikacaukan angin, dan gesturnya yang menunjukkan bahwa ia sedang menunggu sesuatu, entah mengapa mendorongnya untuk terus mengamati selama beberapa jam. Rasa penasaran yang tak pernah terjawab karena dorongan kantuk yang memaksanya kembali ke penginapan untuk beristirahat. 

Dan pemuda itu tak pernah dilihatnya lagi.

Rasa itu masih dibawa oleh Diana sampai setahun kemudian. Rasa penasaran yang lama-kelamaan berubah menjadi semacam rasa rindu yang aneh. Membuatnya nekat mengatur jadwal solo travelling sekali lagi ke tujuan yang sama seperti tahun lalu. Tindakan yang akan mengundang tawa banyak orang apabila diceritakan, karena amat sangat kecil kemungkinannya ia akan dapat berjumpa lagi dengan pemuda itu.

Dan malam ini, pada tanggal, waktu, dan tempat yang sama, Diana menunggu. Segelas kopi hitam telah dihabiskannya tadi untuk dapat tetap siaga semalaman.

 "Kau kesini lagi?"

Diana berbalik.

Postur ini, gerakan tangan merapikan rambut yang tertiup angin, tak salah lagi. Ternyata wajahnya tampan. Garis wajahnya tegas, namun matanya memancarkan kelembutan. 

"Mmm... 'lagi'?" Diana sedikit gugup.

"Tahun lalu kau kesini juga. Memerhatikanku dari sana." 

Jawaban yang mengejutkan; Diana sama sekali tak menyangka bahwa saat itu sang pemuda sadar sedang diamati.

"Kamu sedang menunggu apa?" Diana memutuskan untuk to the point saja, toh sudah ketahuan.

"Aku..." ia menatap Diana beberapa detik sebelum menjawab. "Menunggu pintunya terbuka."

"Pintu apa?"

"Pintu untuk pulang."

"Pulang kemana?" 

"Ke dimensiku."

"Kamu dari dimensi lain?" tanya Diana. 

"Kau... tidak merasa heran?" tanya pemuda itu.

"Tidak." Diana menggeleng. "Lalu, untuk urusan apa kamu kemari?"

"Menjalankan tugas rutin."

"Tugas apa?"

"Membantu meluruskan beberapa masalah di duniamu."

"Masalah apa?"

"Semua." 

"Tugas yang berat..."

"Begitulah."

"Apakah sudah selesai?"

"Tidak akan. Setiap saat masalah-masalah itu akan terus ada."

"Kalau begitu, berarti kau akan datang kesini lagi?"

"Aku datang setiap malam pergantian tahun, dan kembali ke rumah di pertengahan tahun. "

"Begitu, ya..."

"Dan sekarang kau menyesal telah menungguku disini?"

"Kenapa harus menyesal?" 

"Karena tidak ada harapan untuk bisa mengenalku lebih jauh."

"Baiklah," sahut Diana sedikit ketus, "maaf sudah mengganggumu."

"Aku tidak bilang aku terganggu." Pemuda itu menjawab datar.

"Kamu barusan menyatakan ketidakminatan untuk dikenal lebih dekat."

"Aku tidak bilang tidak berminat. Aku hanya menekankan bahwa kita terpisah dimensi, sehingga sulit untuk saling mengenal lebih jauh."

"Dimana sulitnya? Ini saja baru beberapa menit kita sudah bisa berbicara banyak."

"Waktuku setelah selesai bekerja hanya sekitar tujuh jam sebelum pintu dimensi terbuka."

"Tujuh jam cukup. Teman-temanku yang memiliki pasangan jarak jauh dan hanya bisa berbicara melalui telepon atau chat saja bisa bertahan, kok. Menjalin hubungan itu kan tidak hanya didasarkan pada aktivitas fisik seperti nonton bioskop berdua atau bergandengan tangan dengan mesra di dalam mall. Sekedar menyelaraskan pemikiran dalam satu getaran energi saja sudah dapat dikatakan memiliki hubungan khusus. Bahkan dapat lebih memersatukan jiwa dibandingkan aktifitas-aktifitas remeh seperti tadi."

Pemuda itu tertawa  kecil.  "Kau menjawab dengan sangat frontal dan bersemangat. Apakah itu didasari oleh keinginanmu yang sangat kuat untuk bisa mengenalku lebih jauh?"

"Tidak juga sih." Diana mengangkat bahu. "Aku hanya tidak mau kalah bicara darimu."

Pemuda itu kembali tertawa, kali ini lebih keras. 

Mau tak mau Diana ikut tersenyum juga.

"Kau gadis yang pandai dan menyenangkan." Dan ia mengulurkan tangannya.

"Aku Alex."

"Diana."

Mereka bertatapan beberapa saat - bicara dengan mata hati.

Pantai telah sepi dari pengunjung. Hanya beberapa orang penduduk lokal yang terlihat di kejauhan, sibuk dengan aktifitasnya masing-masing dan sama sekali tak memerhatikan mereka.

 Kemudian tiba-tiba pintu itu terbuka. 

Sebuah pendar cahaya lembut bagai kabut yang berpusar di atas kepala mereka.

Diana mundur beberapa langkah memberi jarak. 

Alex memosisikan diri tepat di bawah pusaran itu. 

Kabut cahaya melingkupi tubuhnya.

 "Kau akan menungguku lagi disini?" tanya Alex.

"Ya." Diana mengangguk.

"Kalau begitu, sampai jumpa lagi di bulan Juni, Diana."

"Sampai jumpa lagi di bulan Juni, Alex."

 

Dan tubuh pemuda itu hilang bersama kabut; terbang ke atas menuju bintang-bintang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun