Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rumah Bunga Matahari

2 Maret 2020   09:00 Diperbarui: 2 Maret 2020   09:08 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nina menyeka peluh di dahinya. Cuaca yang sangat panas memaksanya untuk menghentikan sepeda motornya sejenak di pinggir jalan demi meneguk air mineral yang dibawanya dari rumah; air yang terasa hangat karena terlalu lama tersimpan di dalam bagasi motor yang pengap. Ditahannya keinginan untuk membeli sebotol air dingin. 

Beberapa ribu rupiah saja sangat berarti, mengingat penghasilannya yang nyaris tak cukup jika tidak pintar berhemat. Lagipula sebagai seorang yatim piatu tak berpendidikan akademis tinggi yang terpaksa harus menghidupi diri sendiri sejak usia tujuh tahun hingga dua puluh lima tahun, ia telah terbiasa dengan kondisi seperti ini.

Selesai melepas dahaga, Nina kembali menyalakan mesin motornya. Merapikan jalinan pita biru; ciri khas dari Toko Bunga Ratri-tempat ia bekerja, yang mengikat rapi beberapa tangkai bunga matahari di tangannya. Meskipun gajinya dirasa terlalu kecil, ia tetap harus menjaga nama baik tempatnya bekerja.

Sekitar dua jam kemudian barulah Nina menemukan alamat yang dituju. Ia kembali melirik pesan whatsapp dari Bu Ratri, memastikan ia sudah berada di lokasi yang benar. 

Nina turun dari motornya dan mengamati. Rumah yang sangat bagus kalau saja tidak terlihat lapuk dan rusak di sana sini. Ia melangkah masuk melalui gerbang berkarat yang terbuka sedikit. Sesampainya di pintu depan, ia mengetuk. Dan mengetuk kembali. Dan sampai lima menit kemudian tak ada juga yang membukakan pintu. 

Karena mengkhawatirkan bunga segar di tangannya menjadi layu karena panas, akhirnya ia nekat membuka pintu. 

"Permisi... delivery service! Toko Bunga Ratri!" ucapnya sambil menjulurkan leher ke dalam. Gaung suaranya terdengar bergema di dalam ruangan besar itu.

"Permisi..." ucap Nina lagi sembari melangkah masuk dan memperhatikan. Rumah ini sangat luas. Sangat berdebu. Dan sangat kosong. Dua buah pintu; yang kemungkinan merupakan pintu kamar, semuanya tertutup rapat. Bahkan tampak seperti tak pernah dibuka bertahun-tahun.

Tetapi di dindingnya terpasang banyak sekali lukisan. Lukisan berbagai macam rangkaian bunga matahari.

Nina memeriksa kembali pesan Bu Ratri di ponselnya. Di bawah alamat yang diberikan oleh Bu Ratri, ada sebaris pesan yang tidak diperhatikannya sejak tadi karena sibuk berkonsentrasi dengan alamatnya saja. 

"Setelah sampai di alamat tersebut, masukkan bunga mataharinya ke dalam vas di atas meja".

Nina melihat sebuah meja kecil di sudut ruangan dengan vas bunga kosong di atasnya. Satu-satunya perabotan di dalam rumah itu. Ia melangkah mendekati meja itu. Dan tercengang. 

Meja itu terlihat bersih. Vas bunga kaca di atasnya tampak baru dan mengilat. Kontras sekali dengan kondisi bangunan dan ruangan di dalam rumah ini yang lapuk dan penuh debu.

"Ehm, permisi!" Nina mencoba menyapa kembali, khawatir tindakannya dianggap kurang sopan oleh sang pemilik rumah. Tapi tak ada satupun pintu kamar yang terbuka mendengar sapaannya. Karena tetap tak ada jawaban, akhirnya Nina memasukkan ikatan bunga matahari di tangannya ke dalam vas tersebut. 

Kemudian ia berbalik, ingin cepat-cepat pergi dari rumah yang membuat bulu kuduknya berdiri ini. Dan kakinya tersandung sesuatu.

Ia melihat ke bawah. Sebuah bungkusan hitam besar tergeletak tepat di bawah kakinya. Ini benar-benar aneh, batin Nina. Ia yakin sekali benda ini tidak ada saat ia masuk tadi.

Di atas bungkusan itu tertempel sebuah kertas berisi tulisan. Nina membungkuk untuk membacanya.

Terimakasih atas kirimannya. Ini adalah tip untukmu. Tip ini hanya diberikan sekali saja, dan berlaku untuk seterusnya.  Tetaplah bekerja keras dan berempati.

Nina membuka bungkusan itu. Dan terperanjat.

Bungkusan plastik itu penuh berisi lembaran uang seratus ribu. Entah berapa jumlahnya, tetapi yang jelas uang sebanyak itu tak wajar untuk dikatakan sebagai tip.

Nina menoleh kesana kemari mencari-cari, barangkali ada kamera tersembunyi di suatu sudut, dan ini semua hanyalah sebuah prank konyol dari seorang youtuber yang berniat mengerjai orang secara acak.

Tetapi setelah menunggu dalam keheningan selama beberapa saat, dan didukung oleh perasaan aneh yang semakin kuat melanda, akhirnya Nina meraih bungkusan besar yang berat itu dan segera melangkah keluar.

Sesampainya kembali di toko, Nina menceritakan pada Bu Ratri tentang rumah aneh yang penuh berisi lukisan bunga matahari itu, tanpa menyebutkan sebungkus besar tip yang didapatkannya. Karena sejauh yang ia tahu, tip yang diberikan oleh pelanggan adalah hak miliknya sebagai petugas pengantar, tak peduli berapapun jumlahnya.

"Ya, ya, sudah. Yang penting kita sudah mengantarkan pesanan sesuai instruksi yang diberikan," jawab Bu Ratri acuh tanpa menoleh ke arah Nina sembari melambaikan sebuah amplop putih di tangannya.  

Keesokan harinya Nina memberikan surat pengunduran diri kepada Bu Ratri yang tampak heran dengan keputusannya yang tiba-tiba itu, dan segera menyusun strategi untuk memulai usahanya sendiri. 

Ia membeli sebuah ruko besar dengan dua lantai di sebuah komplek perumahan mewah, dan menjadikannya tempat usaha sekaligus tempat  tinggalnya. Ia juga mempekerjakan beberapa petugas pengantar pesanan untuk memperlancar usahanya via online.

Dan setelah itu hidup Nina berubah drastis. Toko bunganya yang diberi nama Toko Bunga Nina sangat ramai dikunjungi pembeli. Desain rangkaian bunga buatannya yang unik dan eksklusif dengan balutan kain putih bergaris emas, dekorasi tokonya yang instagrammable, dan koleksi bunga-bunganya yang lengkap dan bermutu bagus membuatnya memiliki banyak pelanggan setia.

Nina sangat menikmati hidupnya yang sekarang ini.  Sebagai pemilik toko, ia hanya tinggal duduk santai di balik meja besarnya, memberi instruksi kepada karyawannya, dan uang mengalir masuk ke dalam rekeningnya. Semua yang tak dapat dimilikinya dulu, sekarang sanggup dibelinya. 

"Bu, itu ada pengemis di depan toko," ucap Maya, salah satu karyawan pengantar paketnya.

Nina menoleh ke luar toko, mengamati seorang perempuan berpakaian kumal yang sedang memandangi tokonya. Ia tertegun sejenak, merasa pernah melihat perempuan itu, entah dimana.

"Mau dikasih uang nggak, Bu?" tanya Maya lagi.

"Sudah, nggak usah," tukas Nina. "Nanti jadi kebiasaan."

"Baik, Bu," jawab Maya dan segera pergi membawa paket bunga yang harus diantarkannya. Dan pengemis itu pun pergi.

Nina tertegun menatap sebuah amplop surat berwarna putih yang tiba-tiba berada di atas mejanya. Sembari berpikir mungkin Maya tak sengaja meninggalkannya, ia membukanya.

Ternyata amplop itu berisi beberapa lembar uang, disertai secarik kertas bertuliskan pesanan dengan sebuah alamat. Nina mengerutkan kening. Ini adalah alamat yang sama seperti yang dulu pernah didatanginya. Dan pesanan yang juga sama, seikat bunga matahari segar.

Nina terdiam sejenak, berpikir apakah ia harus mengantarkan pesanan itu sendiri atau tidak. Tetapi ia teringat pesan pada secarik kertas pada bungkusan berisi uang yang dulu diterimanya. Disana tertulis, tip itu hanya diberikan sekali saja untuk seterusnya. Mungkin ini maksudnya. Untuk pemesanan berikutnya, sang pemesan tidak akan memberikan tip lagi karena dulu sudah pernah memberikannya dalam jumlah yang sangat banyak. 

Maka Nina memutuskan untuk mengirimkan pesan whatsapp berisi alamat rumah tersebut kepada Maya, karyawan delivery servicenya yang paling rajin, untuk mengirimkan pesanan tersebut segera setelah ia kembali lagi ke toko. Lagipula cuaca hari ini sangat panas dan matahari bersinar amat terik. Enggan sekali rasanya harus keluar dari tokonya yang dingin dan nyaman. 

***

Beberapa bulan kemudian, tanpa penyebab yang jelas, Toko Bunga Nina mendadak sepi pembeli. Lalu akhirnya bangkrut. Nina harus menjual semua assetnya, dan kembali hidup miskin.

***

Nina berjalan tak tentu arah. Banyak tempat telah didatanginya, tetapi tak ada satupun yang membuka lowongan pekerjaan untuknya. Ia masih tak mengerti mengapa hidupnya bisa kembali berubah drastis seperti ini. Padahal ia telah berhati-hati sekali mengelola keuangannya, menyusun strategi pemasaran yang bagus, dan menjaga mutu bunga-bunganya dengan baik.

Nina menyeka peluhnya dan berhenti di depan sebuah toko bunga yang tampak ramai. 'Toko Bunga Maya'.

Ia memperhatikan gadis di balik meja putih mengilat di dalam toko itu. Dan ia mengenalinya. Itu Maya, petugas delivery service teladan yang dulu pernah bekerja padanya. Bagaimana mungkin Maya bisa sukses secepat ini? Nina membatin heran.

"Sekarang kau menyesal kan, telah melimpahkan tugas mengantar seikat bunga matahari itu kepada orang lain?" ucap seseorang di sebelahnya.

Nina menoleh terkejut. Dan mendapati pengemis perempuan berpakaian kumal yang dulu pernah memandangi toko bunganya dari luar telah berdiri di sampingnya.

"Aku juga," ucap pengemis itu lagi, "aku menyesal saat itu telah melimpahkan tugas yang kuanggap rendahan itu kepadamu untuk mengantarkannya ke Rumah Bunga Matahari itu. Sehingga setelah itu hartaku berpindah kepadamu. Padahal pesan pada secarik kertas itu sudah sangat jelas." Dan pengemis itu berbalik pergi.

Nina hanya bisa memandangi punggung perempuan pengemis itu, yang baru saja disadarinya adalah Bu Ratri, mantan atasannya di Toko Bunga Ratri. Ingatannya kembali kepada isi pesan pada secarik kertas itu.

'Tetaplah bekerja keras dan berempati'.

***

"Winda, antarkan paket ini ke alamat yang sudah saya kirimkan ke whatsapp kamu," ucap Maya sembari menghitung jumlah uang di dalam sebuah amplop putih. "Baik, Bu," jawab Winda.

Winda memasuki ruangan yang kosong dan berdebu itu. Langkah kakinya bergema ke seluruh sudut ruangan yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan. 

Winda mendekat dan mengamati lukisan yang terpasang paling ujung. Seikat bunga matahari yang dikemas dengan kain putih bergaris emas yang sangat elegan.

Lalu ia memperhatikan lukisan di sebelahnya. Seikat bunga matahari yang terlilit ikatan pita biru yang sangat cantik.

Kemudian Winda menuju ke sebuah meja kecil di sudut ruangan seperti yang telah diinstruksikan kepadanya oleh Bu Maya. Ia memasukkan seikat bunga matahari ke dalam vas bunga itu dan segera berbalik, ingin segera menyudahi tugasnya yang aneh ini.

Dan kakinya terantuk sesuatu yang tergeletak di lantai. Sebuah bungkusan hitam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun