Ari terhenyak. Â Desanya? Hutannya? Akan diratakan?Â
Ari terduduk lemas diatas rerumputan. Serangga-serangga bersayap beterbangan di atas kepalanya. Suara berbagai jenis binatang kecil bersahutan dari  balik semak-semak, juga dari atas ranting-ranting pepohonan yang tinggi.Â
Angin sejuk berhembus disela dedaunan; meniup lembut, mengantarkan wangi daun dan tanah yang disukainya. Aroma yang selalu membangkitkan semangat dalam diri Ari. Â Semangat yang saat ini rasanya nyaris padam oleh kesedihan.
Benarkah semua ini akan hilang begitu saja? Memangnya apa hak mereka menjadikan hutan ini sebagai arena permainan modern? Belum cukupkah dengan semua gedung tinggi yang mereka bangun di kota-kota besar sampai harus merampas area hutan ini juga? Apa mereka tak memikirkan nasib kami, yang terlanjur mencintai hutan ini? Â Nasib binatang-binatang di dalamnya? Pohon-pohonnya? Tak tahukah mereka bahwa kami merasa sangat bahagia tinggal disini?
"Tak dapatkah kita melakukan sesuatu, Bu?" tanya Ari saat ia tiba di rumah.
Ibu menggeleng pelan. "Sudah berkali-kali kami mencoba menolak. Tetapi proyek itu akan tetap dilaksanakan."Â
"Tapi, Bu ..."
"Tempat tinggal baru untuk kita sudah disiapkan, Nak. Sebulan lagi kita harus pergi dari sini."
"Ari tidak mau pergi dari desa ini, Bu," Ari berkeras.Â
"Tak ada lagi yang dapat kita lakukan, Ari ..."
"Ibu, Ari pasti akan berbuat sesuatu," ucap Ari penuh tekad. "Ari berjanji. Karena Ari sangat menyukai langit hijau kita."