Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dejavu

19 Februari 2020   09:00 Diperbarui: 19 Februari 2020   09:05 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sasha menghentikan langkahnya mendadak.

Apa ini? Ia membatin. Sepertinya aku sudah pernah melewati jalan ini.

Aspal jalan yang sama-dengan lubang-lubang di posisi yang sama, warna pagar rumah-rumah di sekelilingnya, dan arah sinar matahari sore yang menyorot tepat ke wajahnya. Semuanya sama.

Sasha menoleh ke sebuah gang sempit di sisi kiri jalan.

Ia sangat mengenal tempat itu.

 -0o0-

"Itu namanya dejavu, Sha," jelas Indira, teman  indekosnya. "Kamu merasa 'pernah melihat' suatu hal atau merasa 'pernah mengalami' suatu kondisi. Padahal sebenarnya sama sekali belum pernah."

"Tapi kok, rasanya... aku seperti sudah akrab sekali dengan lokasi jalan itu, ya...?" desah Sasha. "Terutama gang kecil itu. Padahal tadi aku kan, hanya kebetulan tersesat jalan karena salah lokasi halte waktu turun dari bus. Dan sejak pindah ke kota ini, aku hanya tahu arah dan jalan pulang pergi dari rumah indekos ke tempat kerja. Belum pernah pergi kemana-mana."

"Itulah." Indira mengangguk. "Secara ilmiah, dejavu itu terjadi akibat aktifitas otak yang 'salah'. Dan saat melakukan kesalahan, otak akan memberikan 'rasa familier' terhadap suatu kejadian, sehingga kita akan mengalami perasaan 'sudah pernah' tersebut. Hal seperti itu biasanya diakibatkan oleh kondisi kesehatan tertentu."

"Kondisi kesehatan seperti apa misalnya?" tanya Sasha.

"Terlalu lelah atau terlalu tegang mungkin." Indira mengangkat bahu. "Kamu kan, capek kerja lembur terus, Sha."

"Hmm. Benar juga, ya." Sasha mengangguk.

Sasha menghentikan langkahnya di ujung gang sempit itu. Ia menatap sepasang sepatunya yang berdiri di atas aspal jalan yang panas, dengan lubang-lubang rusak yang sangat dikenalnya, lalu pagar-pagar rumah di sekelilingnya, dan sinar matahari yang menyilaukan mata.

Apa yang dikatakan Indira kemarin malam memang masuk akal. Tetapi, kalau peristiwa aneh kemarin itu memang diakibatkan oleh kesalahan dalam aktivitas otaknya, lalu mengapa saat ini ia masih bisa merasakannya? Mungkinkah otak dapat melakukan dua kali kesalahan yang sama berturut-turut? Memberikan rasa familier di saat ia berada di lokasi yang tepat sama dalam selang waktu sehari saja?

Demi menuntaskan rasa penasaran, Sasha memutuskan untuk memasuki gang itu. Mungkin jika ia menyusurinya, ia akan ingat sesuatu. Sesuatu yang bisa menjelaskan tentang perasaan dejavu yang aneh ini.

Gang sempit yang sepi itu dibatasi oleh dinding tinggi di sebelah kiri, dan deretan pintu rumah-rumah petak kecil di sebelah kanan.

Suara televisi, suara celotehan keras, dan suara musik yang diputar dalam volume maksimal, berbaur dengan suara tangis anak kecil yang merengek minta sesuatu pada orang tuanya. Suasana yang entah bagaimana penjelasannya, terasa sangat tidak asing bagi Sasha.

Langkahnya berakhir di depan sebuah pintu berwarna biru kusam yang catnya telah mengelupas di sana sini.

Sebatang sapu ijuk bertangkai panjang yang tersandar di dinding memerangkap matanya. Membuka paksa pikirannya untuk masuk ke dalam adegan demi adegan yang memuakkan dan memualkan.

"Maafkan aku Ayah, aku tidak sengaja memecahkan piring ituu!"

"Rasakan kamu, anak durhaka! Rasakan pedihnya gagang sapu ini!"

"Sakit, Ayah! Sakiiitt!!"

"Ibumu lebih sakit lagi ketika melahirkan kamu, tahu! Dan setelah segala penderitaannya, malah kamu buat dia meninggal! Anak kurang ajar!"

"Maafkan aku, Ayah! Maafkan akuuuu!!"

Sasha terhuyung; mencengkeram kepalanya kuat-kuat. Menahan sakit yang membuncah akibat terpaan gelombang ingatan yang mendadak hadir kembali mengisi sel-sel kelabunya.

Rumah ini...

Rumah tempat di mana ia selalu disiksa sejak kecil, oleh seseorang yang seharusnya membesarkannya dengan cinta dan kasih sayang. 

Tempat di mana ia selalu menerima bentakan dan pukulan atas segala kesalahan yang ia perbuat.

Di mana semua yang dilakukannya dengan kurang sempurna selalu dikaitkan dengan kematian ibunya saat melahirkan dirinya.

Rumah di mana selama bertahun-tahun ia mengumpulkan keberanian dan menunggu datangnya sebuah kesempatan untuk meloloskan diri dari lingkaran setan yang membelenggu jiwanya. Meninggalkan semua penderitaan dan kesedihannya. Mengubah jati diri dan menghapus ingatannya demi sebuah kehidupan baru.

Ia ingat sekarang.

Sinar matahari yang mengarah tepat ke wajahnya sewaktu ia berlari kencang tanpa menoleh lagi di sore yang panas itu.

Ujung sepatunya yang berkali-kali terantuk aspal jalan yang tak rata.

Bentuk dan warna pagar rumah-rumah yang mengawalnya di sepanjang jalan, membukakan gerbang kebebasan baginya. Kebebasan atas hak hidupnya.

Ini bukan dejavu.

Lalu, apa yang kulakukan di sini sekarang? Batin Sasha panik. Aku harus segera pergi! 

Pintu berwarna biru itu terbuka.

"Sasha?" terdengar sebuah suara.

Sasha terperenyak. Jantungnya berhenti berdegup.

"Kamu... pulang, Nak? Ayah sudah mencarimu kemana-mana selama ini.."

Sosok yang berdiri di ambang pintu itu mengulurkan tangannya ke arah Sasha. Kilat matanya siap menerkam.

Sasha merasakan tubuhnya lumpuh seketika.

END.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun