"Benda apa yang mirip kaca ini, Ayah?" tanya Phi.
"Kami menamakannya kaca lunak. Benda inilah yang menjaga keutuhan naskah di dalamnya."
Kemudian Ayah membukanya dengan hati-hati. Phi menahan napas. Sebuah lembaran perkamen tipis berwarna kecoklatan tersembul dari dalamnya. Phi bergeser mendekat. Naskah itu tampak sangat kuno sekali.Â
Di bagian atas, terdapat sebuah gambar. Gambar yang mirip dengan replikanya yang dapat Phi temukan dimana-mana. Di rumah-rumah penduduk, di tempat-tempat ibadah, termasuk di dinding rumahnya sendiri.Â
Tetapi yang asli ini jauh lebih indah. Lebih mempesona. Phi terpukau memandangnya.
Sang Ratu Semesta.Â
Wajahnya mulus dan licin bagai permukaan batu pualam putih - perhiasan para Tetua. Rambut panjangnya yang berwarna perak bercahaya, melambai halus di bahunya. Bola mata birunya yang besar, berkilauan di bawah bulu matanya yang panjang dan lentik.
Hidungnya yang mancung sempurna, serta bibir merahnya yang ranum, membuatnya tampak bagai keindahan semesta yang menyihir mata setiap orang yang menatapnya.
"Dia ... dia cantik sekali, Ayah ..." Phi mendesah kagum. Ayah mengangguk dengan khidmat.Â
"Dialah, Sang Ratu Semesta Alam."Â
Pandangan Phi beralih kepada barisan kalimat di bawahnya. Kalimat tentang penciptaan alam semesta.