Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Minema ( misteri ) part-3-side story

30 Oktober 2015   09:24 Diperbarui: 10 Oktober 2016   12:42 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Cerita sebelumnya

 

Nanda menghentikan langkahnya lagi dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa.

“Ups… kenapa lagi Nda ?” Desy yang berjalan di belakangnya ikut berhenti mendadak. Nanda menggeleng dan melanjutkan langkah.

“Haaai.... cepet dong jalannyaaa !” seru Hilda yang sudah berada jauh di depan. 

“Ini niih si Nanda nge-rem terus, kayak angkot aja,” sahut Desy sambil tertawa.

Nanda ikut tertawa.

"Masih jauh nggak siih tempatnyaaa...?" tanya Mimi dengan napas terengah-engah.

"Sedikit lagi kok ....," sahut Dona dari belakang," Itu tuuh, yang ada pohon besarnya."

 

“Nda, kamu nggak habis ya tuh kornetnya ?” tuduh Mimi yang terlihat masih lapar sambil mengintip isi misting di tangan Nanda. Nanda menggeleng dan menyerahkan sisa kornet gorengnya kepada Mimi.

“Dasar gembul,” ledek Desy.

Mimi cemberut sambil tetap menghabiskan kornetnya. Nanda tersenyum geli. 

“Eh Nda, kamu kok dari tadi diam aja sih ?” tanya Dona.

“Iya Nda. Capek ya ?” komentar Hilda sambil melemparkan beberapa ranting kering ke dalam api unggun buatannya. 

“Iya nih. Dari tadi aku lihat kamu sepertinya resah begitu deh,” ujar Mimi.

“Hmm…..,” Nanda memeluk lututnya.

“Atau…. kamu tadi … melihat sesuatu yang seram-seram  yah Nda ?” tanya Dona dengan suara direndahkan sambil merapatkan duduknya ke Hilda.

“Aduuh… jangan mulai cerita yang seram-seram doong,” keluh Desy ketakutan,” eh, katanya nggak baik lhoo di tempat begini kalau membicarakan yang seperti ituuu….”

“Eh, bukaaan….. bukan kok,” akhirnya Nanda buka suara,” bukan yang seperti itu…” 

“Nah, jadi apa dong ?” 

“Gimana yah bilangnya.... hmmm...... rasanya…. rasanya seperti….. ada sesuatu yang sangat dekat denganku di tempat ini,” jawab Nanda ragu.

“Dekat bagaimana maksudnya Nda ?” tanya Mimi sambil meletakkan misting kosongnya di tanah. 

“Mm... begini....," Nanda mulai bercerita ,"Sejak 4 tahun yang lalu, aku sudah beberapa kali pergi kemping ke sini dengan teman-teman SMP-ku. Dan di setiap kesempatan itu, aku selalu merasa ada seseorang…. atau sesuatu… yang memperhatikanku dari balik pepohonan. Tapi setiap aku menoleh, pasti nggak ada siapa-siapa. Anehnya, perasaan seperti itu mengikuti terus sepanjang kami berada disini. Kemanapun aku bergerak, selalu terasa keberadaannya. Dekat sekali.”

“Wah…. terus waktu itu kamu nggak bilang ke teman-teman kamu ?” tanya Desy.

“Pernah sih aku bilang…. tapi kata teman-temanku, mungkin itu hanya perasaanku aja, karena sedang berada di tempat yang asing. Apalagi pepohonan disini juga cukup lebat. Sehingga banyak tempat gelap dan berbayang yang bisa menyebabkan suasana terasa aneh...."

“Iiihh…..,” Dona bergidik sambil beringsut semakin menempel pada Hilda.

“Lalu hari ini, kamu merasakannya lagi ?” tanya Hilda penasaran.

“Iya... ” sahut Nanda, "Ada terus sejak kita memasuki area perkemahan tadi siang …”

“Kalau ….. saat ini ?”

“Ada….”

“Di sebelah mana ?”

Nanda menoleh perlahan ke belakang, ke arah pohon besar yang menaungi tenda mereka.

“Iiiihh takuuutt….,” Mimi berseru sambil menutupi wajahnya. Desy dan Dona ikut menjerit.

“Eh….. tunggu duluu ! Rasanya nggak menakutkan kok. Sama sekali nggak,” bantah Nanda.

“Lho…. jadi bagaimana sih ?  Rasanya seperti apa ?” Hilda semakin penasaran.

“Apa yah… seperti …. seperti perasaan senang…. dan nyaman begitu… seperti ada yang…. ada yang menjaga aku setiap saat ….”  Nanda menunduk dengan wajah tersipu. 

Hilda, Mimi, Dona dan Desy tercengang menatap Nanda.   

 

Ya memang itu yang aku inginkan…. bisa menjaga kamu terus, keluhku sambil duduk dalam diam memperhatikan kelima gadis itu.

Nanda memegang gelas minuman hangatnya dengan kedua tangan dan meminum isinya sedikit demi sedikit.  Raut wajahnya yang manis dan berkesan pendiam, nampak lebih ekspresif saat sedang bercanda dengan teman-temannya. Suara tawanya yang berderai lembut terdengar menyenangkan di telingaku. 

“Yang seperti itu memangnya cantik ya ?” tanya Dimas yang berjongkok di sampingku. Aku mengangguk.

Dimas mengangkat bahu. “Terserah lah,” ujarnya. 

 

***

 

Nanda dan kawan-kawannya sudah mengemasi tenda dan perlengkapan mereka. Ini terlalu cepat. Padahal aku masih ingin melihatnya.

Teringat kata-kata bapak semalam, ”Tanggal pernikahan kamu dengan Ratih sudah ditentukan, yaitu dua minggu lagi. Setelah itu, kamu harus banyak belajar supaya nanti bisa menggantikan posisi bapak. Mudah-mudahan kamu bisa melaksanakan tugasmu dengan baik ya nak.”

Nanda, keluhku merana. Kita tidak akan bisa bertemu lagi. Kalaupun kamu masih akan datang kesini, aku sudah tidak boleh melihatmu lagi.

Kuikuti Nanda dengan perasaan kacau. Beberapa saat lagi dia akan meninggalkan tempat ini.  Dan aku akan kehilangan dia untuk selamanya.....

Sseandainya kondisinya berbeda ....

Seandainya aku bisa membawamu ke tempatku ....

Seandainya ....

Eh.... bukannya bisa ?

Dari sini memang tidak bisa. Tapi kalau lewat 'tempat itu', katanya kan bisa. Meskipun belum pernah ada yang mencobanya. Ujung bagian luarnya berdekatan dengan pintu keluar perkemahan.

Lalu .... bagaimana caranya ? Keluar dulu dan menariknya masuk ?

Apa ya, yang akan terjadi padaku, saat tiba diluar ?  Dan nanti kira-kira dia bakal ketakutan tidak ya ?

Tapi kalau yang lain tahu, jangan-jangan Nanda akan langsung diusir ? Dan bagaimana dengan Ratih ?

Duh….. bagaimana ini ?

Ah sudahlah… kucoba tarik saja dia masuk. Lalu nanti kusembunyikan dulu dia di suatu tempat sambil melihat perkembangan selanjutnya.


Aku bergerak secepat mungkin kembali ke desa. Kemudian mengendap dan beringsut menuju tempat yang paling terlarang itu.

Aman. Tidak ada yang melihat. Aku masuk dan mulai menyusurinya.

Ternyata rasanya aneh di dalam sini. Tak terdengar sama sekali suara-suara dari dalam hutan. Seperti ada selaput tebal yang menyelubungi kedua telingaku. Tubuhku juga terasa berat untuk bergerak. Dan aku merasa seolah sedang diawasi. Entah oleh siapa.

Tapi aku tetap bisa melihat ke luar dengan leluasa. Seperti tak ada dinding pembatas sama sekali.

Beberapa langkah lagi Nanda akan keluar dari area perkemahan.  Aku memburu mengejar.

Seandainya dia bisa mendengarku.

Nanda, tunggu aku !

Aku melaju semakin kencang.

Nandaaaa tunggu ! Aku ingin bicara padamu !

Aku sudah hampir sampai di ujung lorong. Begitu juga Nanda dan teman-temannya. Mereka sudah mendekati pintu keluar bumi perkemahan.

NANDAAAA !!

NANDAAAAAAA !!

NANDAAAAAAAAA !!

Langkah Nanda tiba-tiba terhenti. Aku ikut berhenti.

Nanda berdiri menghadap ke arahku dari sisi luar dinding lorong yang tak bisa dilihatnya. Aku memperhatikannya dari dalam.

“Kamu… ada disitu ya ?” tanyanya pelan.

Aku terpana.

“Halo…? Kamu ada disitu kan….? Kamu tadi panggil aku ya?” tanya Nanda lagi dengan suara lebih keras.

Teman-teman Nanda memperhatikannya dari belakang dengan heran.

Dia bisa mendengar panggilanku ?

Dan akupun bisa mendengarnya  dari dalam sini ?

Eh, tunggu dulu. Nanda tidak menggerakkan bibirnya sama sekali sejak tadi.

Apakah…. ini…… suara hatinya ?

Nanda mendekat ke dinding. Aku juga mendekat.

Aku tahu dia tak bisa melihatku, walaupun matanya menatap tepat kepadaku. Bola matanya terlihat bening dan indah dalam jarak sedekat ini.

“Kamu …. siapa sih….,” tanyanya sembari mengulurkan tangan perlahan.

“Aku…. Krisna….,” jawabku sambil mengulurkan tangan juga ke arahnya.

“Krisna…?” Nanda tersenyum. Manis sekali.

Telapak tangan Nanda menyentuh dinding luar lorong bersamaan dengan telapak tanganku yang menyentuhnya dari dalam. Tangan kami bertemu dan …..

GLAAARRRRRRR !!!

Tubuhku terpental ke belakang dan jatuh ke tanah.   

Terdengar suara keributan diluar lorong. Aku langsung bangkit dan melihat.

Nanda terbaring kaku di tanah dikelilingi teman-temannya yang menjerit-jerit ketakutan. Beberapa orang yang juga sedang berada di area perkemahan berlarian mendekati mereka.

Tubuh Nanda yang tak bergerak kemudian diangkat oleh beberapa orang dan dibawa pergi.

Apa yang terjadi pada Nanda ? Ledakan apa itu tadi ?  

Aku mendekat ke dinding lorong tempat tanganku bertemu dengan Nanda.

Dinding yang seharusnya tak kelihatan itu sekarang terlihat berlubang. Aku bisa melihat samar-samar garis tipis berpendar yang membentuk sebuah lubang yang cukup besar di udara.

Sebuah tangan yang lembut menyentuh bahuku. Aku menoleh.

“Dia juga menyukai kamu…” Ratih tiba-tiba sudah berdiri disampingku.

Aku menatap Ratih dengan bingung.

“Perasaanmu yang begitu kuat tetapi terus kamu pendam sejak lama, sedikit demi sedikit tersampaikan kepadanya. Dan rasa takutmu yang tiba-tiba melonjak saat kamu merasa akan kehilangan dia untuk selamanya, membuat kekuatan pikiranmu menjadi aktif sebelum waktunya. Tadi dia bisa mendengar kamu kan ?” 

Aku mengangguk.

“Dan kamu juga bisa mendengar suara hatinya….” lanjut Ratih.

Aku mengangguk lagi.  

“Tapi…. bagaimana kamu bisa bilang kalau dia juga menyukai aku ?”

Ratih menunjuk lubang besar yang sekarang menghiasi dinding lorong.

“Ini...., " katanya, " Hal ini tidak akan terjadi kalau perasaan kalian tidak saling berbalas…..”

Aku menatap Ratih tak percaya.

"Aku pernah baca di buku kuno koleksi nenekku," jelas Ratih.

"Lalu.... apakah..... apa lubang ini... akan mengakibatkan suatu hal yang berbahaya bagi kita ? Atau mereka?" tanyaku.

"Kurasa tidak..... kalau iya pasti sekarang kita sudah mengetahuinya...," Ratih menggeleng pelan sambil mengamati keributan yang masih berlangsung diluar sana.

“Lebih baik sekarang kita segera pulang. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat sewaktu aku tadi mengikuti kamu kesini diam-diam. Karena posisimu sebagai anak Kepala Desa sekaligus calon Kepala Desa bisa tercemar…”

Aku terdiam sejenak.

“Mm... Ratih….. terimakasih ya...," ujarku penuh penyesalan," Aku minta maaf...”

Ratih hanya mengangguk dan tersenyum.

“Tapi….. Nanda…. apa  yang terjadi dengannya ?”

Ratih mengangkat bahu.

“Yah…. bagi manusia, sengatan listrik sebesar ratusan ribu volt seperti tadi itu biasanya mematikan. Tidak seperti  kita minema, yang jika tersambar petir saja hanya akan merasa sakit sedikit…..”

 

Aku terdiam lagi. Lebih lama.

 

Maafkan aku Nanda…..   

 

 

------------------------

 

 

"Winni, ayo pulang. Sudah sore lho. Besok sekolah kan."
"Iya Mama."
"Apa itu di tangan kamu ? Jangan suka ambil sampah begitu sayang. Kan kotor."
"Bukan sampah Mama, ini kertas gambar."
"Coba sini Papa lihat."

"Kertasnya agak aneh..... rasanya nggak seperti kertas..... kamu dapat darimana sayang ?"

"Ambil dari rumput di sungai tadi."

"Gambar apa ya ini ...."
"Itu kan gambar gunung Papa. Winni kalau gambar gunung di sekolah juga kayak gitu."
"Ooh... iya.... pinter anak Papa."

"Hmm.... disini ada tulisan ... istriku Mira dan anakku Andri..... terus apa nih dibawahnya... lorong penghubung.... jangan masuk kesini. Maksudnya apa ya? Kertasnya lecek dan kotor banget. Sepertinya pernah basah terus kering lagi."
"Sudahlah buang aja mas. Paling juga sampah orang yang pada piknik disini."
"Iya."

"Eh, tapi aku jadi ingat si Andri deh mas. Dimana ya dia sekarang ?"
"Andri mana ?"
"Andri temen kuliah kita itu lho. Yang belum genap satu semester tiba-tiba nggak pernah masuk kuliah lagi."
"Ohh iya iya. Yang waktu menjelang midtest kita datangin ke rumahnya tapi ibunya nggak kasih penjelasan apa-apa dan kayaknya nggak suka kita datang kan ?"
"Iya. Padahal sebelumnya ibunya ramah banget ya. Tapi waktu itu, kita malah sama sekali nggak dipersilahkan masuk ke rumahnya. Pintunya juga cepat-cepat ditutup setelah kita berpamitan."
"Yah.... mungkin waktu itu mereka sedang ada masalah keluarga yang nggak bisa diceritakan ke orang lain. Eh iya, ayahnya Andri kan yang dulu hilang di gunung ini ya....."
"Oh iya ya mas. Iiih... jadi takut...."

"Mama, Papa, itu siapa sih yang ngeliatin Winni ? Itu di balik pohon yang ituu...?"
"Aduuh sayang, jangan nakut-nakutin Mama ah..."
"Winni, sini yuk Papa gendong aja, biar cepat kita jalannya."

"Asiiikk... digendong Papa..! Dadaah burung..!"

 

 

( minema - selesai )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun