“Iya sih bu… kalau cuma kehujanan saja mungkin nggak apa-apa. Tapi jalan setapak itu lho, kan sepi dan gelap. Sari takut. Kalau ada orang jahat bagaimana ?”
“Tidak ada penjahat di desa kita Sari,” sahut ibu.
“Iya deeh, nggak ada orang jahat dari desa kita. Tapi kalau orang jahatnya datang dari luar desa bagaimana ?”
Ibu menggeleng-gelengkan kepala dengan kesal.
“Atau,” sambungku bandel, ”Kalau ada hantu, bagaima…”
“Sudah Sari," potong Ibu sambil menatapku dengan pandangan tegas, menandakan bahwa pembicaraan ini tidak perlu dilanjutkan lagi.
“Mandi dulu sana,” ujarnya, “Setelah itu kita makan.”
”Iya bu,” jawabku menurut dan segera melangkah ke kamar mandi.
Hujan masih terus turun dengan deras sampai saatnya tidur. Aku berbaring di kamarku yang sempit sambil membaca ulang novel horror favoritku. Tetesan air hujan yang jatuh ke lantai memercik lagi ke atas mengenai jari-jari kakiku yang masih meradang.
Kugeser posisi kakiku sambil melirik ke arah atap dengan sinis. Dasar rumah kampung. Atap kulit pohon ini payah sekali. Karena terus-terusan terkena angin dan air hujan, lama kelamaan ikatannya mengendur dan lembaran-lembarannya jadi saling bergeser. Sehingga saat hujan turun, airnya bisa menetes ke dalam rumah. Belum lagi dindingnya. Angin malam dapat bertiup masuk dengan mudahnya melalui sambungan potongan-potongan kayu yang tidak rata.